Aku adalah gadis biasa dari sebuah kota terpencil, panggil saja Airi. Aku hanya ingin bercerita tentang sesuatu yang sangat berharga namun terlewati. Terlewati karena mungkin hal itu tak mungkin kembali, terlewati karena waktu yang semakin melaju tanpa henti dan merasa lelah tanpa ingin menungguku meski sejenak saja.
Malam itu handphone ku berdering tanda sms masuk, kalo tidak salah ku setting nada sms streetwise di handphone monophonicku saat itu. Maklumlah hanya handphone dengan tipe lumayan jadul itulah satu-satunya barang berharga yang ku bawa dari rumah, meski seperti itu, namun handphone itu yang selalu menemaniku, sampai - sampai selalu menjadi teman tidurku di 1 tahun belakangan ini. Kuraih handphone itu yang dari tadi siang ku geletakkan di atas kasur yang tidak mempunyai dipan itu, kasur pinjaman dari pak Haji pemilik kontrakan yang ku tempati saat ini. Saat sebuah nama tertera di layar handphone ku itu, hatiku sudah bisa menebak apa isi sms itu. Ku buka perlahan dan ternyata benar.
“Teh kapan pulang?” pertanyaan yang sama beberapa hari ini yang kudapatkan. Adikku belakangan ini selalu menanyakan hal itu. Ku tatap dalam - dalam sms itu. Jari – jari tanganku menggenggam erat handphone mungil itu. Ingin rasanya di saat seperti itu tiba, aku berada di tempat mereka berada, ditempat orang – orang yang selalu mengharapkanku pulang, keluargaku.
Ku rubah posisi ku saat itu, sedikit melepas lelah kurebahkan tubuhku di kasur, kurasa kan semuanya semakin tak berdaya.
Beberapa saat, ku mainkan jari-jemariku di atas tombol handphone itu, ku ketikkan satu demi satu beberapa hurup “Insya Allah teteh pulang …” aku berhenti sejenak, sembari memikirkan jawaban yang harus ku berikan pada adikku. Hingga kemudian sms itu ku lanjutkan kembali” ….akhir bulan bi, pas ulang tahun aza ya? mau kado ultah apa?”, dan kemudian sms pun terkirim. Beberapa saat ku dapati sms balasan “Hehe..pengen di beliin bola basket teh, eh tapi sekarang mataku sedikit minus, pengen periksa, yaudah hadiahnya kaca mata aza ya? :D” . hatikku terasa senang sekaligus bimbang, sms pun ku balas kembali..”Iya, insya Allah nanti kaca mata aza..”
Fikiranku menerawang jauh ke sana, seketika terbayang jelas raut wajah adikku yang masih terlihat polos itu menghampiri khayalanku, meski umurnya sudah 16 tahun di selalu di anggap seperti anak kecil. Kekhawatiran aku, ibu dan bapakku sangatlah besar pada si bungsu ini, ya mungkin karena sikapnya yang penurut dan tak seperti yang lain, kadang membuat kami semakin memberikan batasan ini itu.
Sms pun ku dapati kembali, “Asyiiik, cepetan pulangnya okeh? ” adikku sepertinya bahagia mendapat sms ku tadi.
Handphone pun tak berdering lagi, mungkin karena waktu sudah semakin larut dan mungkin kini adikku sudah tertidur karena besok harus sekolah. Kemudian tanganku pun menekan tombol handphone, sampai jam di handphone terlihat jelas, pukul 9 malam ternyata. Aku menghela nafas sebentar, mataku sudah terasa sepat namun aku tak boleh tertidur, karena masih banyak yang harus ku kerjakan di aktifitas malam itu. malam ketika ku harus pergi bekerja.
Suasana sepi semakin mencekam saat aku berangkat bekerja, mungkin karena kontrakanku tak jauh dari lokasi tempat pemakaman umum, atau juga mungkin karena tinggal aku sendiri di kontrakan itu, hampir semua seisi kontrakan pergi bekerja shift 2, entah kenapa hatiku berubah tak nyaman. Kembali teringat adikku disana, kucoba fokuskan pada pekerjaan yang kini harus ku bereskan. Namun di tengah kesibukkan ku, tiba-tiba handpone ku yang ku letakkan di sampingku di atas meja tempat kerjaku itu tak sengaja tersenggol sampai terbalik, dan seketika mati, hatiku tiba-tiba memanas dan merasa panik, semua kebingungan menghampiriku, ketakutan pun ikut disana bersama keringat dingin yang tiba-tiba muncul. Suasana malam saat itu tepat pukul 1 malam saat ku tanyakan jam pada rekan kerjaku. Malam yang aneh kurasakan. Kemudian aku pun mengutak-ngatik handphone ku yang mati tadi, ku buka baterainya sebentar, ku coba masukkan kembali dan “ Akhirnya..” ternyata bisa nyala kembali, ”Huft” aku menghela nafas lumayan panjang, hatiku pun sedikit lega.
Perasaan itu terbawa sampai pagi, sampai aku pergi kerumah nenekku di samping kota itu, kudapati beliau yang sedang terbaring sakit 6 bulan belakangan ini, nenekku sakit komplikasi liver, diabetes, dan beberapa penyakit lainnya yang bisa di bilang cukup mengerikan bagi kami, namun beliau hanya di rawat di rumah saja karena keluarga sudah hampir ke walahan membawanya pergi ke rumah sakit yang semakin tidak memperlihatkan kemajuan, dengan di temani sodara sepupuku, kuceritakan hal semalam padanya.
Malam pun tiba kembali, perasaan cemas yang sama, sampai-sampai aku tak bisa tidur semalaman, semakin terasa bergetar. Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan nenekku, sekaligus untuk menjaganya, saat itu aku masih belum bisa tidur. Namun tiba-tiba nenekku menjerit tak sadar. sontak hatiku menjadi takut dan cemas jadi satu, ya mungkin karena saat itu menujukan pukul 12 malam. Apa gerangan yang terjadi? Itu menjadi pertanyaan dalam benakku. Setelah nenekku tenang kembali, terlihat kelap kelip tanda ada telephone masuk dari handphone yang sengaja ku silent dari tadi, kuraih handphone itu, namun tiba-tiba “Uups..mati lagi..!!” seruku dalam hati, hatiku melemas “Barusan siapa yang menelpon ya?” tiba-tiba aku tertegun sejenak.
Hingga ku temui esok hari lagi, sekitar pukul 6 pagi, mataku pun masih terasa ngantuk karena semalaman belum tidur, namun kemudian terdengar suara..
“ Airi kesini...” suara sepupuku yang dari ruang tengah terdengar memanggilku.
Aku pun bergegas menuju ke dalam, ku hampiri dia yang sedang berdiri menelpon dengan penuh kegelisahan. Di serahkan handphone yang di pegangnya itu kepadaku. Ku dekatkan ketelingaku karena isyarat sodara sepupuku itu.
“Ada apa ma..?” tanyaku. Namun yang ku dengar hanya isakan tangis ibuku dari seberang telephone sana..
“Si Abi..” ibuku menghentikan suaranya dan kembali menangis, semua itu seketika menjadi tanda tanya besar bagiku..” Dia kecelakaan kini di rumah sakit dan butuh biaya sekarang juga..” lanjut ibuku lirih..
Seketika hatiku seperti di hampiri petir yang entah datang dari mana. “ Abi di rumah sakit? kecelakaan? dan sekarang butuh biaya?” owhh semua seakan menjadi kebingungan tersendiri bagiku, tiba-tiba hatiku sakit mendengar hal itu, seberapa parah kecelakaan adikku itu? dan dari mana harus ku dapatkan uang dalam beberapa waktu dekat ini? Sedangkan gajihan saja belum, ini baru tengah bulan. Tiba-tiba air mataku mengalir deras, adikku berada di sana dan butuh bentuan secepatnya. Seketika mataku tertuju pada handphone mati di tanganku. Apa ku jual saja? Tapi mana mungkin ada yang mau beli handphone jadul dan dalam keadaan mati seperti ini? bisik batinku yang dari tadi terus bergejolak, kini fikiranku yang penting aku bisa pulang, kemudian…
“ Na," panggilku pada sepupuku itu. "sekarang kamu lagi ada uang gak? mamaku lagi butuh uang katanya..?” tanyaku sekenanya.
“Tapi aku juga kan belum gajian, mungkin kalau ongkos untuk pulang aku masih ada..” jawabnya dengan sedikit melemah.. ” Tapi aku ada handphone. Coba sekarang kita usahakan jual handphone ini dulu” lanjutnya sambil menunjukan handphone yang sedang di pegangnya. ya kulihat handphonenya masih terlihat baru. namun aku juga tak tega dengan hal itu.
Namun ternyata tak seperti yang di harapkan, setelah kami berkeliling untuk menjual handphone itu di pusat penjualan handphone, tak ada hasil yang didapatkan, hampir semua toko handphone menawar dengan harga murah, mungkin karena mereka tau, kalau kami itu sedang membutuhkan uang. Dan akhirnya tanpa uang kami memutuskan untuk segera menuju kota kecil kami, berbekal ongkos dan uang seadanya saja. “Nanti di Tasik sajah di jualnya ri..” ucap sepupuku yang wajahnya terlihat tampak kusut.
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Kurang dari setengah hari akhirnya kami sampai juga dikota tempat adikku berada, langsung saja menuju sebuah rumah sakit umum yang sudah di beritahukan oleh ibu sebelumnya. Dengan ragu, dan kali pertama masuk rumah sakit, hatiku pun menggeliat dalam, tak bisa ku bayangkan apa yang di alami adikku, mungkin sangat parahkah? Atau tidak? Semua pertanyaan batin datang menghampiri di tengah kegalauan.
Sudah tampak keluargaku yang lain, ibu dari bapakku menghampiriku dengan tangisan. Tapi tubuhku seakan terdiam oleh suasana, entah apa yang harus kulakukan. Satu demi satu dari keluarga bapakku menatapku iba, dan terlihat menyabarkanku dengan usapan di kepala. Tapi kakiku tetap melangkah ke dalam, memerobos keriuhan suara di ruangan itu, seakan-akan tak bisa terhenti. Hingga di sebuah ruangan unit gawat darurat saat itu, sangat terasa suasana rumah sakit karena bau obat yang terasa menyengat di hidung. Terlihat 2 suster berbaju putih dengan berbagai alat kedokteran di tangannya baru saja keluar dari ruangan itu, kuteruskan langkahku sampai seorang ibu berbadan kecil menghampiriku dan kemudian merangkulku dengan erat, yaps itu ibuku. Wajah dan badannya yang kecil tampak kusut sekali karena belum tidur sehari semalam. Ku buka gorden biru yang sebagai penghalang tempat tidur pasien yang satu dengan yang lainnya, hingga terlihat sebuah tempat tidur dengan oksigen besar di sampingnya. Selang-selang yang mengalirkan udara ke hidung dan mulut seseorang yang sedang terkapar itu, dengan denyut nadi yang tergambar di sebuah layar monitor di meja sebelah kiri. Tiba- tiba tangisku menumpah kala itu, tapi kucoba sedikit di tahan namun terasa sangat sakit sekali. Kudekati dia yang sedang terkapar, masih tak percaya, itu adikku Abi yang selama ini tak kami biarkan terluka walau sedikitpun. Luka lebam terlihat jelas di bagian wajah dan beberapa bagian di badannya, tak henti darah pun keluar dari mulut, hidung dan telinga adikku, meskipun sudah mengalami perawatan, tapi sangat menghawatirkan sampai-sampai kapas dan perban pun di penuhi dengan darah. Hal itu Semakin membuatku miris dan terluka, hatiku seketika marah namun juga penyesalan itu selalu membayangiku. Andai saja aku pulang lebih awal, mungkin kejadian itu tak akan pernah terjadi, andai aku bisa datang lebih awal, mungkin adikku kini masih dalam keadaan sehat, tapi apa? Kini dia terkapar dalam keadaan koma, itu yang membuatku semakin terpukul. Kakak macam apa aku ini? adikku kini harus merasakan sakit, kenapa tak aku saja yang merasakan semua ini? Kenapa harus adikku yang selalu jadi anak penurut bagi ibu dan bapakku, sedangkan aku, anak pembangkang dan penuh dosa ini yang masih enak-enakan merasakan kehidupan ini? kenapa?. Tak henti-hentinya hatiku bertanya-tanya dan menyalahkan.. Suara ayat Al-Qur’an dari handphone pun diperdengarkan sampai mengisi ruangan itu, sebagai pengganti kalo sesekali kami kelelahan ketika mengaji surat yasin di samping adikku. Berharap Allah memberikan keajaiban.
Namun sudah 4 hari adikku dalam keadaan koma. Tentu saja membuat kami semua jadi tidak menentu, aku sudah kasihan melihat bapak dan ibuku yang terlihat bingung melihat anak kesayangannya dalam keadaan seperti itu, ditambah biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Namun berkat saran dari seorang tetanggaku, akhirnya kami pun mencoba untuk mengajukan jaminan kesehatan masyarakat. Namun masalah keuangan pun tak berakhir sampai disitu, tak habis fikir dalam keadaan seperti itu pun, banyak pihak-pihak yang memberikan kerumitan dalam proses pengajuan tersebut, padahal taruhan kali ini adalah nyawa, nyawa adikku tersayang..
Di tengah keadaan yang semakin membuat bingung itu, di saat aku terdiam pasrah di samping adikku, hatiku seakan menyeruak ketika melihat ada sebuah respon dari adikku, mataku tertuju ke jari-jari adikku, sontak hatiku sumringah. kakiku melangkah menuju luar ruangan, menghambur menemui ibu dan bapakku yang sedang termenung. “Abi siuman bu..” suaraku tampak lirih saat itu. Terlihat semangat memancar dari wajah ibuku, kami semua menuju ke ruangan dengan diikuti seorang dokter yang berbadan tinggi putih. Ada tangis bahagia, namun juga terasa masih keadaan harap-harap cemas. Karena setelah beberapa kali di periksa dokter, ternyata dokter menyatakan kalau sudah terjadi retakan didada dan benturan di otak yang berakibat akan terjadi kelumpuhan. Katanya harus segera di operasi. Semangat kami hancur kambali. Apalagi setelah itu adikku harus di pindah ke ruangan steril, yaitu HCU (High Care Unit), entah apapun tentang ruangan itu, tapi sepengetahuanku ruangan itu adalah ruangan khusus orang-orang yang mengalami kecelakaan yang sangat parah. Sontak badanku terasa di bantingkan ke tembok, namun masih tidak terasa sakit di bandingkan dengan rasa sakit yang dialami adikku. ”Begitu parahkah keadaan adikku itu? ” bisik hatiku pelan.
Dalam do’aku di dalam sholatku. Aku hanya memohon kesembuhan adikku yang semakin hari semakin terlihat memburuk, meskipun nadinya semakin normal, namun tidak merubah keadaan adikku.
Sore hari saat itu, handphone yang dari tadi bergetar dari saku celanaku segera ku angkat. Segera aku menghindar dari tempat aku menjaga adikku saat itu. Terdengar suara seseorang yang cukup mengagetkanku, suara seorang laki-laki yang tenyata adalah bosku. “Airi, kamu mau kerja lagi kapan? Tanya bosku saat itu. “A..aku, Gak tau pak ..” aku diam sejenak, hanya rasa bingung dan kaget yang kini menyatu dalam benakku. “Gimana ya ri kalo kaya gitu, kerjaan numpuk, jadi siapa nanti yang akan mengerjakan?” tanyanya lagi. “Saya juga pengen sekali kerja pak, tapi adik saya masih di rumah sakit, mungkin saya akan keluar saja pak dari kerjaan, soalnya disini gak ada yang jaga lagi, dan adik saya gak bisa di tinggalkan” jawabku dengan terpaksa mengatakan hal itu. “Lah coba difikir-fikir lagi ri, nanti nyesel loch?” suara bosku yang terdengar sedikit mengambang. Aku terdiam lagi, jalur otakku terasa berbelit. Perasaan dan fikiran terasa kalut, entah langkah apa yang harus aku ambil saat itu. Dan setelah ku fikir-fikir sejenak dengan cepat kuambil keputusan. “Aku keluar saja pak, nanti surat pengunduran dirinya nyusul besok atau lusa aku ke kesana” ucapku dengan batin sedikit lemas. Setelah itu, pembicaraan kami berakhir. Ada rasa sesal, namun tak boleh ku sesali, saat itu hanya adikku yang ku harapkan semoga cepat pulih kembali.
Sudah hampir 15 hari adikku di rumah sakit, biaya pun hampir menipis, sampai-sampai bapak harus mengobankan menjual apapun harta yang kami miliki demi kesembuhan adikku tersayang.
“ Kalo rumah harus dijual pun tak apa, yang penting si Abi selamat” itu yang di katakan bapak pada kami.
Perjuangan demi perjuangan seorang bapak dan ibu semakin terlihat disini, tanpa lelah mereka terus menyiasati bagaimana supaya keadaan adikku bisa kembali pulih. Padahal situasi keungan di keluarga kami sebelum kejadian itu sedang tidak mendukung saat itu.
Suara denyut nadi dari pendeteksi nadi terdengar keluar ruangan HCU, ruangan itu hanya dijaga suster dan petugas lainnya, sedangkan kami selaku keluarga apsien hanya menunggu di depan ruangan, supaya sewaktu-waktu pasien membutuhkan obat, resep bisa segera di berikan. Setiap ada Petugas ruangan HCU yang membuka pintu ruangan itu, hati kami selalu dibuat tak menentu, berharap ada kabar baik tentang keadaan adikku.
“Trek..” terdengar suara dari dalam.
“Keluarga Abi?” terdengar salah seorang petugas memanggil kami selaku keluarga dari Abi adikku. Dengan mata lelah, bapakku menghampiri petugas tersebut. Di terimanya resep dokter. Dipandanginya sangat erat resep tersebut. Sebuah selang operasi tertera dikertas resep tersebut. Kebingungan kami tak cukup sampai di situ, setelah kami tau ternyata Apotik Rumah sakit tidak menyediakan Selang operasi tersebut, hati semakin kacau. Akhirnya aku dan bapakku mencoba membelinya di Apotik luar. Setibanya di depan Rumah sakit, Tiba-tiba hujan pun turun, mungkin tidak terlalu besar. Tanpa mengurungkan niat sedikitpun, aku dan bapakku pun menerobos di tengah riuhan hujan itu, saat itu kami tak membawa payung. Apotik demi apotik kami datangi, mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil di depan rumah sakit itu. Namun semuanya nihil, tak ada satu pun yang cocok, di tempat penjualan alat-alat kesehatan pun tak ada yang sesuai, mau ukurannya yang tak ada, bahkan ada juga yang sampai tak menyediakan sama sekali. Ku tatap wajah bapakku yang semakin terlihat kelelahan itu. Dan akhirnya kami kembali masuk kedalam rumah sakit dengan tangan hampa. Bapakku menenggalamkan ekspersi wajahnya dalam, meskipun dia coba tak memperlihatkan. kemudian setelah ditanyakan kembali pada dokter, ternyata selang itu bisa di dapatkan di beberapa apotik tertentu saja di kota Bandung. Tanpa fikir panjang, kakakku yang harus cuti mengajarpun pergi kesana dalam beberapa hari. Harap, cemas itu yang kami rasakan.
Namun akhirnya setelah 12 jam berlalu dari kepergian kakakku ke Bandung, Akhirnya ku dapati sebuah telephone, katanya selang sudah di dapatkan, namun dengan harga yang tak seperti biasanya, tapi tak apalah asalkan adikku bisa segera di sembuhkan. Dan kakakku pun kembali dari kota Bandung.
Waktu yang telah di tentukan itu tiba, adikku harus menjalani operasi penyedotan gumpalan darah dan harus segera diganti dengan darah baru. Katanya darah merah dan darah putih bercampur di dadanya akibat benturan yang sangat keras, itulah sedikit informasi yang ku dapatkan dari dokter yang menangani adikku. Detik-detik operasi pun terlewati, kini adikku dalam keadaan bernafas lewat tenggorokkan. Ya katanya sich supaya lebih membantu pernafasan biar lebih dekat dengan paru-paru. Aah entahlah, yang jelas hatiku tak hentinya menangis setiap mendengar kondisi adikku.
Tak sampai di situ permasalahnnya, di hari ke 19, waktu menunjukkan pukul 2 sore. Tiba-tiba suara petugas dari dalam ruangan itu memecahkan kebimbangan kami, aku, kakakku, bapakku, dan ibuku.
“ keluarga Abi?” tanya petugas itu. Kini kakakku yang menghampirinya.
Terlihat jelas kembali wajah kakaku terlihat gusar saat mendapatkan resep dokter kali itu. “ kenapa ya?” Tanya bapakku pada kakakku yang bernama Arya itu. “ Musti beli PEN pak buat penyanggah kepala si Abi, katanya ada patah tulang di bagian lehernya” jawabnya lemas. Sebenarnya kali ini kami sangat tidak setuju dengan ide dokter saat itu, karena jelas-jelas saat adikku di periksa tulang lehernya oleh sodaraku yang sempat berkunjung yang sedikit banyak bisa memeriksa patah tulang, dia bilang tulang lehernya baik-baik saja. Namun apa boleh buat, semua kembali lagi demi kesembuhan adikku. Dan akhirnya PEN pun dipasang. Hatiku miris melihatnya namun saat itu rasa rinduku pada adikku mengalahkan semuanya.
Di hari ke 20, kucoba memasuki ruangan steril itu di jam besuk. Sekitar pukul 2 siang. Saat pintu kubuka, semilir dingin AC terasa di kulitku, kuraih pakaian khusus orang yang membesuk yang tergantung di depan pintu. Kemudian ku hampiri adikku yang tergeletak lemah disana, terlihat seorang pasien lain juga disana, disamping tempat tidur adikku, sorang nenek tua, yang entah sakit apa. Berbagai peralatan medis di sambungkan ke tubuh adikku. Hatiku bertambah hancur. Bunyi nadi dimonitor pun semakin terdengar keras, tampak sebuah alat pendeteksi jantung di samping kanan adikku. Ku tatap erat adikku, matanya bisa melihatku, ada sedikit senyum yang di tunjukkan padaku, namun tercampur kesal. Mungkin karena PEN yang terpasang membuatnya terasa sesak, ingin sekali ku buka pen itu, tapi aku juga tak mau mengambil resiko karena dokter tetap tdak memperbolehkannya dibuka. Kuajaki adikku ngobrol, meskipun aku tau, tak mungkin adikku membalas obrolanku itu.
“Bi, cepat sembuh ya? Ucapku lirih, sambil mengecup keningnya. Setelah jam besuk usai, aku pun kembali ke luar ruangan.
Angin tampak sepoy-sepoy saat itu, hanya ada aku, ibu dan bapakku yang menunggu adikku. Sedangkan kakakku sedang pergi keluar, dan di sana juga terlihat beberapa orang yang juga sedang menjaga pasien lainnya. Sekitar pukul 4 sore, saat ku lihat jam yang tertera di handphone. Ku coba rebahkan badanku yang sudah merasa lelah karena kurang tidur di sebuah tikar yang digelar di lantai tepat depan pintu ruangan HCU.
Hari itu kami semua, seperti termenung dengan keadaan sekarang, tak ada suara yang keluar dari mulut kami, hanya kadang dengusan lelah dari bapak dan ibuku. Beberapa saat saja, namun tiba-tiba suara dari dalam memcahkan suasana hening saat itu. Kali ini bukan panggilan petugas untuk menyerahkan resep. Petugas hanya memanggil kami untuk masuk ke dalam ruangan tempat adikku dirawat. Kami semua, karena saat itu kondisi adikku dalam keadaan drop, semua nadi yang tergambar di monitor tampak turun drastis, gambar penunjuk detak jantung pun hampir berubah lurus, yaps.. saat itu adikku dalam keadaan syakaratul maut. Tubuhku yang berdiri di samping kasur, dekat kaki adikku saat itu, tiba-tiba seketika lemas, seakan hancur, dan tak berdaya. Dengan tangisan cemas, badanku ambruk ke lantai, sambil ku pegangi pinggir tempat tidur adikku saat itu. Sekilas ku lihat ibuku sedang mengadzani kuping kiri adikku, bapakku juga, membacakan takbir di kuping sebelahnya. Ku lihat ibuku dan bapakku menangis dan cemas bukan kepalang. Tapi mereka tak ingin adikku pergi dalam keadaan yang sia-sia. Suster pun berusaha memompa nafas adikku dengan sebuah alat.
Namun takdir berkata lain, sekitar pukul 4.15 kurang lebih, adikku harus kembali kepangkuan sang pencipta.
” Inalillahi wainailaihi rojiuun..” semua suara yang ku dengar menyebutkan kalimat itu.
Aku yang masih dalam keadaan menangis meraung - raung, seolah nyawaku ikut keluar dari tubuhku, seperti yang dialami adikku saat itu. Kupukul pelan tembok yang ada didepanku sebisaku, semua orang disekitar mencoba menenangkanku, entah bagaimana keadaan ibuku saat itu, yang pasti terasa pukulan yang sangat keras ku terima dalam batinku.
Beberapa saat kemudian, kami semua bergegas membereskan barang bawaan, untuk segera pulang, untuk menyemayamkan jenazah adikku, yaps.. kini adikku tersayang sudah menjadi jenazah, berat ku terima kenyataan itu, tapi itulah adanya. Adikku sayang adikku malang.
Suasana malam saat itu, sangat ramai dengan orang-orang yang datang melayat, kali ini kami tidak pulang ke rumah, namun pulang ke rumah nenek, ibu dari bapakku, karena kami semua berencana untuk menguburkan janazah adikku di kampung itu, yang juga sebagai tempat kelahiran aku dan adikku dulu.
Detik-detik saat adikku akan di bawa untuk disemayamkan, dengan seizing ayahku, aku pun di perbolehkan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal kepada adikku tersayang. Saat itu Aku terduduk di sampingnya, kupegangi wajah, dan pundak yang masih terlihat kekar dan tinggi besar itu kini terbungkus oleh kain kafan, namun sekekar bagaimana pun, hanya Allah yang memiliki semuannya dan akan kembali kepadanya.
“Selamat tinggal adikku sayang, selamat jalan, kelak jika Allah menghendaki, kita semua akan di kumpulkan kembali di Syurganya. Kulepaskan sedikit demi sedikit peganganku dari tubuh adikku. Di bantu oleh ayahku, aku pun berdiri menjauh dari jenazah, meskipun rasanya berat, dan tak ingin dia pergi.
Kemudian para lelaki yang ada di sana menutupnya dengan kain sarung, dan memasukkannya ke keranda. Mengangkat tubuh besarnya itu.
Sedikit demi sedikit adikku menjauh dari dari pandanganku, terasa sepi di hatiku, kurasakan saat itu.
Malam itu handphone ku berdering tanda sms masuk, kalo tidak salah ku setting nada sms streetwise di handphone monophonicku saat itu. Maklumlah hanya handphone dengan tipe lumayan jadul itulah satu-satunya barang berharga yang ku bawa dari rumah, meski seperti itu, namun handphone itu yang selalu menemaniku, sampai - sampai selalu menjadi teman tidurku di 1 tahun belakangan ini. Kuraih handphone itu yang dari tadi siang ku geletakkan di atas kasur yang tidak mempunyai dipan itu, kasur pinjaman dari pak Haji pemilik kontrakan yang ku tempati saat ini. Saat sebuah nama tertera di layar handphone ku itu, hatiku sudah bisa menebak apa isi sms itu. Ku buka perlahan dan ternyata benar.
“Teh kapan pulang?” pertanyaan yang sama beberapa hari ini yang kudapatkan. Adikku belakangan ini selalu menanyakan hal itu. Ku tatap dalam - dalam sms itu. Jari – jari tanganku menggenggam erat handphone mungil itu. Ingin rasanya di saat seperti itu tiba, aku berada di tempat mereka berada, ditempat orang – orang yang selalu mengharapkanku pulang, keluargaku.
Ku rubah posisi ku saat itu, sedikit melepas lelah kurebahkan tubuhku di kasur, kurasa kan semuanya semakin tak berdaya.
Beberapa saat, ku mainkan jari-jemariku di atas tombol handphone itu, ku ketikkan satu demi satu beberapa hurup “Insya Allah teteh pulang …” aku berhenti sejenak, sembari memikirkan jawaban yang harus ku berikan pada adikku. Hingga kemudian sms itu ku lanjutkan kembali” ….akhir bulan bi, pas ulang tahun aza ya? mau kado ultah apa?”, dan kemudian sms pun terkirim. Beberapa saat ku dapati sms balasan “Hehe..pengen di beliin bola basket teh, eh tapi sekarang mataku sedikit minus, pengen periksa, yaudah hadiahnya kaca mata aza ya? :D” . hatikku terasa senang sekaligus bimbang, sms pun ku balas kembali..”Iya, insya Allah nanti kaca mata aza..”
Fikiranku menerawang jauh ke sana, seketika terbayang jelas raut wajah adikku yang masih terlihat polos itu menghampiri khayalanku, meski umurnya sudah 16 tahun di selalu di anggap seperti anak kecil. Kekhawatiran aku, ibu dan bapakku sangatlah besar pada si bungsu ini, ya mungkin karena sikapnya yang penurut dan tak seperti yang lain, kadang membuat kami semakin memberikan batasan ini itu.
Sms pun ku dapati kembali, “Asyiiik, cepetan pulangnya okeh? ” adikku sepertinya bahagia mendapat sms ku tadi.
Handphone pun tak berdering lagi, mungkin karena waktu sudah semakin larut dan mungkin kini adikku sudah tertidur karena besok harus sekolah. Kemudian tanganku pun menekan tombol handphone, sampai jam di handphone terlihat jelas, pukul 9 malam ternyata. Aku menghela nafas sebentar, mataku sudah terasa sepat namun aku tak boleh tertidur, karena masih banyak yang harus ku kerjakan di aktifitas malam itu. malam ketika ku harus pergi bekerja.
Suasana sepi semakin mencekam saat aku berangkat bekerja, mungkin karena kontrakanku tak jauh dari lokasi tempat pemakaman umum, atau juga mungkin karena tinggal aku sendiri di kontrakan itu, hampir semua seisi kontrakan pergi bekerja shift 2, entah kenapa hatiku berubah tak nyaman. Kembali teringat adikku disana, kucoba fokuskan pada pekerjaan yang kini harus ku bereskan. Namun di tengah kesibukkan ku, tiba-tiba handpone ku yang ku letakkan di sampingku di atas meja tempat kerjaku itu tak sengaja tersenggol sampai terbalik, dan seketika mati, hatiku tiba-tiba memanas dan merasa panik, semua kebingungan menghampiriku, ketakutan pun ikut disana bersama keringat dingin yang tiba-tiba muncul. Suasana malam saat itu tepat pukul 1 malam saat ku tanyakan jam pada rekan kerjaku. Malam yang aneh kurasakan. Kemudian aku pun mengutak-ngatik handphone ku yang mati tadi, ku buka baterainya sebentar, ku coba masukkan kembali dan “ Akhirnya..” ternyata bisa nyala kembali, ”Huft” aku menghela nafas lumayan panjang, hatiku pun sedikit lega.
Perasaan itu terbawa sampai pagi, sampai aku pergi kerumah nenekku di samping kota itu, kudapati beliau yang sedang terbaring sakit 6 bulan belakangan ini, nenekku sakit komplikasi liver, diabetes, dan beberapa penyakit lainnya yang bisa di bilang cukup mengerikan bagi kami, namun beliau hanya di rawat di rumah saja karena keluarga sudah hampir ke walahan membawanya pergi ke rumah sakit yang semakin tidak memperlihatkan kemajuan, dengan di temani sodara sepupuku, kuceritakan hal semalam padanya.
Malam pun tiba kembali, perasaan cemas yang sama, sampai-sampai aku tak bisa tidur semalaman, semakin terasa bergetar. Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan nenekku, sekaligus untuk menjaganya, saat itu aku masih belum bisa tidur. Namun tiba-tiba nenekku menjerit tak sadar. sontak hatiku menjadi takut dan cemas jadi satu, ya mungkin karena saat itu menujukan pukul 12 malam. Apa gerangan yang terjadi? Itu menjadi pertanyaan dalam benakku. Setelah nenekku tenang kembali, terlihat kelap kelip tanda ada telephone masuk dari handphone yang sengaja ku silent dari tadi, kuraih handphone itu, namun tiba-tiba “Uups..mati lagi..!!” seruku dalam hati, hatiku melemas “Barusan siapa yang menelpon ya?” tiba-tiba aku tertegun sejenak.
Hingga ku temui esok hari lagi, sekitar pukul 6 pagi, mataku pun masih terasa ngantuk karena semalaman belum tidur, namun kemudian terdengar suara..
“ Airi kesini...” suara sepupuku yang dari ruang tengah terdengar memanggilku.
Aku pun bergegas menuju ke dalam, ku hampiri dia yang sedang berdiri menelpon dengan penuh kegelisahan. Di serahkan handphone yang di pegangnya itu kepadaku. Ku dekatkan ketelingaku karena isyarat sodara sepupuku itu.
“Ada apa ma..?” tanyaku. Namun yang ku dengar hanya isakan tangis ibuku dari seberang telephone sana..
“Si Abi..” ibuku menghentikan suaranya dan kembali menangis, semua itu seketika menjadi tanda tanya besar bagiku..” Dia kecelakaan kini di rumah sakit dan butuh biaya sekarang juga..” lanjut ibuku lirih..
Seketika hatiku seperti di hampiri petir yang entah datang dari mana. “ Abi di rumah sakit? kecelakaan? dan sekarang butuh biaya?” owhh semua seakan menjadi kebingungan tersendiri bagiku, tiba-tiba hatiku sakit mendengar hal itu, seberapa parah kecelakaan adikku itu? dan dari mana harus ku dapatkan uang dalam beberapa waktu dekat ini? Sedangkan gajihan saja belum, ini baru tengah bulan. Tiba-tiba air mataku mengalir deras, adikku berada di sana dan butuh bentuan secepatnya. Seketika mataku tertuju pada handphone mati di tanganku. Apa ku jual saja? Tapi mana mungkin ada yang mau beli handphone jadul dan dalam keadaan mati seperti ini? bisik batinku yang dari tadi terus bergejolak, kini fikiranku yang penting aku bisa pulang, kemudian…
“ Na," panggilku pada sepupuku itu. "sekarang kamu lagi ada uang gak? mamaku lagi butuh uang katanya..?” tanyaku sekenanya.
“Tapi aku juga kan belum gajian, mungkin kalau ongkos untuk pulang aku masih ada..” jawabnya dengan sedikit melemah.. ” Tapi aku ada handphone. Coba sekarang kita usahakan jual handphone ini dulu” lanjutnya sambil menunjukan handphone yang sedang di pegangnya. ya kulihat handphonenya masih terlihat baru. namun aku juga tak tega dengan hal itu.
Namun ternyata tak seperti yang di harapkan, setelah kami berkeliling untuk menjual handphone itu di pusat penjualan handphone, tak ada hasil yang didapatkan, hampir semua toko handphone menawar dengan harga murah, mungkin karena mereka tau, kalau kami itu sedang membutuhkan uang. Dan akhirnya tanpa uang kami memutuskan untuk segera menuju kota kecil kami, berbekal ongkos dan uang seadanya saja. “Nanti di Tasik sajah di jualnya ri..” ucap sepupuku yang wajahnya terlihat tampak kusut.
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
Kurang dari setengah hari akhirnya kami sampai juga dikota tempat adikku berada, langsung saja menuju sebuah rumah sakit umum yang sudah di beritahukan oleh ibu sebelumnya. Dengan ragu, dan kali pertama masuk rumah sakit, hatiku pun menggeliat dalam, tak bisa ku bayangkan apa yang di alami adikku, mungkin sangat parahkah? Atau tidak? Semua pertanyaan batin datang menghampiri di tengah kegalauan.
Sudah tampak keluargaku yang lain, ibu dari bapakku menghampiriku dengan tangisan. Tapi tubuhku seakan terdiam oleh suasana, entah apa yang harus kulakukan. Satu demi satu dari keluarga bapakku menatapku iba, dan terlihat menyabarkanku dengan usapan di kepala. Tapi kakiku tetap melangkah ke dalam, memerobos keriuhan suara di ruangan itu, seakan-akan tak bisa terhenti. Hingga di sebuah ruangan unit gawat darurat saat itu, sangat terasa suasana rumah sakit karena bau obat yang terasa menyengat di hidung. Terlihat 2 suster berbaju putih dengan berbagai alat kedokteran di tangannya baru saja keluar dari ruangan itu, kuteruskan langkahku sampai seorang ibu berbadan kecil menghampiriku dan kemudian merangkulku dengan erat, yaps itu ibuku. Wajah dan badannya yang kecil tampak kusut sekali karena belum tidur sehari semalam. Ku buka gorden biru yang sebagai penghalang tempat tidur pasien yang satu dengan yang lainnya, hingga terlihat sebuah tempat tidur dengan oksigen besar di sampingnya. Selang-selang yang mengalirkan udara ke hidung dan mulut seseorang yang sedang terkapar itu, dengan denyut nadi yang tergambar di sebuah layar monitor di meja sebelah kiri. Tiba- tiba tangisku menumpah kala itu, tapi kucoba sedikit di tahan namun terasa sangat sakit sekali. Kudekati dia yang sedang terkapar, masih tak percaya, itu adikku Abi yang selama ini tak kami biarkan terluka walau sedikitpun. Luka lebam terlihat jelas di bagian wajah dan beberapa bagian di badannya, tak henti darah pun keluar dari mulut, hidung dan telinga adikku, meskipun sudah mengalami perawatan, tapi sangat menghawatirkan sampai-sampai kapas dan perban pun di penuhi dengan darah. Hal itu Semakin membuatku miris dan terluka, hatiku seketika marah namun juga penyesalan itu selalu membayangiku. Andai saja aku pulang lebih awal, mungkin kejadian itu tak akan pernah terjadi, andai aku bisa datang lebih awal, mungkin adikku kini masih dalam keadaan sehat, tapi apa? Kini dia terkapar dalam keadaan koma, itu yang membuatku semakin terpukul. Kakak macam apa aku ini? adikku kini harus merasakan sakit, kenapa tak aku saja yang merasakan semua ini? Kenapa harus adikku yang selalu jadi anak penurut bagi ibu dan bapakku, sedangkan aku, anak pembangkang dan penuh dosa ini yang masih enak-enakan merasakan kehidupan ini? kenapa?. Tak henti-hentinya hatiku bertanya-tanya dan menyalahkan.. Suara ayat Al-Qur’an dari handphone pun diperdengarkan sampai mengisi ruangan itu, sebagai pengganti kalo sesekali kami kelelahan ketika mengaji surat yasin di samping adikku. Berharap Allah memberikan keajaiban.
Namun sudah 4 hari adikku dalam keadaan koma. Tentu saja membuat kami semua jadi tidak menentu, aku sudah kasihan melihat bapak dan ibuku yang terlihat bingung melihat anak kesayangannya dalam keadaan seperti itu, ditambah biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Namun berkat saran dari seorang tetanggaku, akhirnya kami pun mencoba untuk mengajukan jaminan kesehatan masyarakat. Namun masalah keuangan pun tak berakhir sampai disitu, tak habis fikir dalam keadaan seperti itu pun, banyak pihak-pihak yang memberikan kerumitan dalam proses pengajuan tersebut, padahal taruhan kali ini adalah nyawa, nyawa adikku tersayang..
Di tengah keadaan yang semakin membuat bingung itu, di saat aku terdiam pasrah di samping adikku, hatiku seakan menyeruak ketika melihat ada sebuah respon dari adikku, mataku tertuju ke jari-jari adikku, sontak hatiku sumringah. kakiku melangkah menuju luar ruangan, menghambur menemui ibu dan bapakku yang sedang termenung. “Abi siuman bu..” suaraku tampak lirih saat itu. Terlihat semangat memancar dari wajah ibuku, kami semua menuju ke ruangan dengan diikuti seorang dokter yang berbadan tinggi putih. Ada tangis bahagia, namun juga terasa masih keadaan harap-harap cemas. Karena setelah beberapa kali di periksa dokter, ternyata dokter menyatakan kalau sudah terjadi retakan didada dan benturan di otak yang berakibat akan terjadi kelumpuhan. Katanya harus segera di operasi. Semangat kami hancur kambali. Apalagi setelah itu adikku harus di pindah ke ruangan steril, yaitu HCU (High Care Unit), entah apapun tentang ruangan itu, tapi sepengetahuanku ruangan itu adalah ruangan khusus orang-orang yang mengalami kecelakaan yang sangat parah. Sontak badanku terasa di bantingkan ke tembok, namun masih tidak terasa sakit di bandingkan dengan rasa sakit yang dialami adikku. ”Begitu parahkah keadaan adikku itu? ” bisik hatiku pelan.
Dalam do’aku di dalam sholatku. Aku hanya memohon kesembuhan adikku yang semakin hari semakin terlihat memburuk, meskipun nadinya semakin normal, namun tidak merubah keadaan adikku.
Sore hari saat itu, handphone yang dari tadi bergetar dari saku celanaku segera ku angkat. Segera aku menghindar dari tempat aku menjaga adikku saat itu. Terdengar suara seseorang yang cukup mengagetkanku, suara seorang laki-laki yang tenyata adalah bosku. “Airi, kamu mau kerja lagi kapan? Tanya bosku saat itu. “A..aku, Gak tau pak ..” aku diam sejenak, hanya rasa bingung dan kaget yang kini menyatu dalam benakku. “Gimana ya ri kalo kaya gitu, kerjaan numpuk, jadi siapa nanti yang akan mengerjakan?” tanyanya lagi. “Saya juga pengen sekali kerja pak, tapi adik saya masih di rumah sakit, mungkin saya akan keluar saja pak dari kerjaan, soalnya disini gak ada yang jaga lagi, dan adik saya gak bisa di tinggalkan” jawabku dengan terpaksa mengatakan hal itu. “Lah coba difikir-fikir lagi ri, nanti nyesel loch?” suara bosku yang terdengar sedikit mengambang. Aku terdiam lagi, jalur otakku terasa berbelit. Perasaan dan fikiran terasa kalut, entah langkah apa yang harus aku ambil saat itu. Dan setelah ku fikir-fikir sejenak dengan cepat kuambil keputusan. “Aku keluar saja pak, nanti surat pengunduran dirinya nyusul besok atau lusa aku ke kesana” ucapku dengan batin sedikit lemas. Setelah itu, pembicaraan kami berakhir. Ada rasa sesal, namun tak boleh ku sesali, saat itu hanya adikku yang ku harapkan semoga cepat pulih kembali.
Sudah hampir 15 hari adikku di rumah sakit, biaya pun hampir menipis, sampai-sampai bapak harus mengobankan menjual apapun harta yang kami miliki demi kesembuhan adikku tersayang.
“ Kalo rumah harus dijual pun tak apa, yang penting si Abi selamat” itu yang di katakan bapak pada kami.
Perjuangan demi perjuangan seorang bapak dan ibu semakin terlihat disini, tanpa lelah mereka terus menyiasati bagaimana supaya keadaan adikku bisa kembali pulih. Padahal situasi keungan di keluarga kami sebelum kejadian itu sedang tidak mendukung saat itu.
Suara denyut nadi dari pendeteksi nadi terdengar keluar ruangan HCU, ruangan itu hanya dijaga suster dan petugas lainnya, sedangkan kami selaku keluarga apsien hanya menunggu di depan ruangan, supaya sewaktu-waktu pasien membutuhkan obat, resep bisa segera di berikan. Setiap ada Petugas ruangan HCU yang membuka pintu ruangan itu, hati kami selalu dibuat tak menentu, berharap ada kabar baik tentang keadaan adikku.
“Trek..” terdengar suara dari dalam.
“Keluarga Abi?” terdengar salah seorang petugas memanggil kami selaku keluarga dari Abi adikku. Dengan mata lelah, bapakku menghampiri petugas tersebut. Di terimanya resep dokter. Dipandanginya sangat erat resep tersebut. Sebuah selang operasi tertera dikertas resep tersebut. Kebingungan kami tak cukup sampai di situ, setelah kami tau ternyata Apotik Rumah sakit tidak menyediakan Selang operasi tersebut, hati semakin kacau. Akhirnya aku dan bapakku mencoba membelinya di Apotik luar. Setibanya di depan Rumah sakit, Tiba-tiba hujan pun turun, mungkin tidak terlalu besar. Tanpa mengurungkan niat sedikitpun, aku dan bapakku pun menerobos di tengah riuhan hujan itu, saat itu kami tak membawa payung. Apotik demi apotik kami datangi, mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil di depan rumah sakit itu. Namun semuanya nihil, tak ada satu pun yang cocok, di tempat penjualan alat-alat kesehatan pun tak ada yang sesuai, mau ukurannya yang tak ada, bahkan ada juga yang sampai tak menyediakan sama sekali. Ku tatap wajah bapakku yang semakin terlihat kelelahan itu. Dan akhirnya kami kembali masuk kedalam rumah sakit dengan tangan hampa. Bapakku menenggalamkan ekspersi wajahnya dalam, meskipun dia coba tak memperlihatkan. kemudian setelah ditanyakan kembali pada dokter, ternyata selang itu bisa di dapatkan di beberapa apotik tertentu saja di kota Bandung. Tanpa fikir panjang, kakakku yang harus cuti mengajarpun pergi kesana dalam beberapa hari. Harap, cemas itu yang kami rasakan.
Namun akhirnya setelah 12 jam berlalu dari kepergian kakakku ke Bandung, Akhirnya ku dapati sebuah telephone, katanya selang sudah di dapatkan, namun dengan harga yang tak seperti biasanya, tapi tak apalah asalkan adikku bisa segera di sembuhkan. Dan kakakku pun kembali dari kota Bandung.
Waktu yang telah di tentukan itu tiba, adikku harus menjalani operasi penyedotan gumpalan darah dan harus segera diganti dengan darah baru. Katanya darah merah dan darah putih bercampur di dadanya akibat benturan yang sangat keras, itulah sedikit informasi yang ku dapatkan dari dokter yang menangani adikku. Detik-detik operasi pun terlewati, kini adikku dalam keadaan bernafas lewat tenggorokkan. Ya katanya sich supaya lebih membantu pernafasan biar lebih dekat dengan paru-paru. Aah entahlah, yang jelas hatiku tak hentinya menangis setiap mendengar kondisi adikku.
Tak sampai di situ permasalahnnya, di hari ke 19, waktu menunjukkan pukul 2 sore. Tiba-tiba suara petugas dari dalam ruangan itu memecahkan kebimbangan kami, aku, kakakku, bapakku, dan ibuku.
“ keluarga Abi?” tanya petugas itu. Kini kakakku yang menghampirinya.
Terlihat jelas kembali wajah kakaku terlihat gusar saat mendapatkan resep dokter kali itu. “ kenapa ya?” Tanya bapakku pada kakakku yang bernama Arya itu. “ Musti beli PEN pak buat penyanggah kepala si Abi, katanya ada patah tulang di bagian lehernya” jawabnya lemas. Sebenarnya kali ini kami sangat tidak setuju dengan ide dokter saat itu, karena jelas-jelas saat adikku di periksa tulang lehernya oleh sodaraku yang sempat berkunjung yang sedikit banyak bisa memeriksa patah tulang, dia bilang tulang lehernya baik-baik saja. Namun apa boleh buat, semua kembali lagi demi kesembuhan adikku. Dan akhirnya PEN pun dipasang. Hatiku miris melihatnya namun saat itu rasa rinduku pada adikku mengalahkan semuanya.
Di hari ke 20, kucoba memasuki ruangan steril itu di jam besuk. Sekitar pukul 2 siang. Saat pintu kubuka, semilir dingin AC terasa di kulitku, kuraih pakaian khusus orang yang membesuk yang tergantung di depan pintu. Kemudian ku hampiri adikku yang tergeletak lemah disana, terlihat seorang pasien lain juga disana, disamping tempat tidur adikku, sorang nenek tua, yang entah sakit apa. Berbagai peralatan medis di sambungkan ke tubuh adikku. Hatiku bertambah hancur. Bunyi nadi dimonitor pun semakin terdengar keras, tampak sebuah alat pendeteksi jantung di samping kanan adikku. Ku tatap erat adikku, matanya bisa melihatku, ada sedikit senyum yang di tunjukkan padaku, namun tercampur kesal. Mungkin karena PEN yang terpasang membuatnya terasa sesak, ingin sekali ku buka pen itu, tapi aku juga tak mau mengambil resiko karena dokter tetap tdak memperbolehkannya dibuka. Kuajaki adikku ngobrol, meskipun aku tau, tak mungkin adikku membalas obrolanku itu.
“Bi, cepat sembuh ya? Ucapku lirih, sambil mengecup keningnya. Setelah jam besuk usai, aku pun kembali ke luar ruangan.
Angin tampak sepoy-sepoy saat itu, hanya ada aku, ibu dan bapakku yang menunggu adikku. Sedangkan kakakku sedang pergi keluar, dan di sana juga terlihat beberapa orang yang juga sedang menjaga pasien lainnya. Sekitar pukul 4 sore, saat ku lihat jam yang tertera di handphone. Ku coba rebahkan badanku yang sudah merasa lelah karena kurang tidur di sebuah tikar yang digelar di lantai tepat depan pintu ruangan HCU.
Hari itu kami semua, seperti termenung dengan keadaan sekarang, tak ada suara yang keluar dari mulut kami, hanya kadang dengusan lelah dari bapak dan ibuku. Beberapa saat saja, namun tiba-tiba suara dari dalam memcahkan suasana hening saat itu. Kali ini bukan panggilan petugas untuk menyerahkan resep. Petugas hanya memanggil kami untuk masuk ke dalam ruangan tempat adikku dirawat. Kami semua, karena saat itu kondisi adikku dalam keadaan drop, semua nadi yang tergambar di monitor tampak turun drastis, gambar penunjuk detak jantung pun hampir berubah lurus, yaps.. saat itu adikku dalam keadaan syakaratul maut. Tubuhku yang berdiri di samping kasur, dekat kaki adikku saat itu, tiba-tiba seketika lemas, seakan hancur, dan tak berdaya. Dengan tangisan cemas, badanku ambruk ke lantai, sambil ku pegangi pinggir tempat tidur adikku saat itu. Sekilas ku lihat ibuku sedang mengadzani kuping kiri adikku, bapakku juga, membacakan takbir di kuping sebelahnya. Ku lihat ibuku dan bapakku menangis dan cemas bukan kepalang. Tapi mereka tak ingin adikku pergi dalam keadaan yang sia-sia. Suster pun berusaha memompa nafas adikku dengan sebuah alat.
Namun takdir berkata lain, sekitar pukul 4.15 kurang lebih, adikku harus kembali kepangkuan sang pencipta.
” Inalillahi wainailaihi rojiuun..” semua suara yang ku dengar menyebutkan kalimat itu.
Aku yang masih dalam keadaan menangis meraung - raung, seolah nyawaku ikut keluar dari tubuhku, seperti yang dialami adikku saat itu. Kupukul pelan tembok yang ada didepanku sebisaku, semua orang disekitar mencoba menenangkanku, entah bagaimana keadaan ibuku saat itu, yang pasti terasa pukulan yang sangat keras ku terima dalam batinku.
Beberapa saat kemudian, kami semua bergegas membereskan barang bawaan, untuk segera pulang, untuk menyemayamkan jenazah adikku, yaps.. kini adikku tersayang sudah menjadi jenazah, berat ku terima kenyataan itu, tapi itulah adanya. Adikku sayang adikku malang.
Suasana malam saat itu, sangat ramai dengan orang-orang yang datang melayat, kali ini kami tidak pulang ke rumah, namun pulang ke rumah nenek, ibu dari bapakku, karena kami semua berencana untuk menguburkan janazah adikku di kampung itu, yang juga sebagai tempat kelahiran aku dan adikku dulu.
Detik-detik saat adikku akan di bawa untuk disemayamkan, dengan seizing ayahku, aku pun di perbolehkan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal kepada adikku tersayang. Saat itu Aku terduduk di sampingnya, kupegangi wajah, dan pundak yang masih terlihat kekar dan tinggi besar itu kini terbungkus oleh kain kafan, namun sekekar bagaimana pun, hanya Allah yang memiliki semuannya dan akan kembali kepadanya.
“Selamat tinggal adikku sayang, selamat jalan, kelak jika Allah menghendaki, kita semua akan di kumpulkan kembali di Syurganya. Kulepaskan sedikit demi sedikit peganganku dari tubuh adikku. Di bantu oleh ayahku, aku pun berdiri menjauh dari jenazah, meskipun rasanya berat, dan tak ingin dia pergi.
Kemudian para lelaki yang ada di sana menutupnya dengan kain sarung, dan memasukkannya ke keranda. Mengangkat tubuh besarnya itu.
Sedikit demi sedikit adikku menjauh dari dari pandanganku, terasa sepi di hatiku, kurasakan saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar