Senin, 30 April 2012

DENGAN SEBUAH KATA

          Detik-detik kelulusan sekolah tentunya menjadi kebahagiaan tersendiri bagi semua siswa, apalagi bagi siswa menengah pertama yang akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Namun kali ini tidak dengan Chika, seorang gadis berparas manis itu harus menelan ludah saat tau kini dia tak bisa melanjutkan sekolah. Semua terasa berat karena kondisi yang tidak mendukung, karena kondisi ayahnya lah dia harus menerima semuanya. Ayahnya yang difonis oleh dokter mengalami kelainan jantung itu tak mampu lagi bekerja sehingga itulah sebab beliau keluarkan dari pekerjaannya sebagai satpam di sebuah rumah elite dua bulan lalu. Tak sedikit orang yang bertanya tentang alasan Chika tak melanjutkan sekolahnya lagi namun dia pun hanya bisa menjawab..”Mungkin lain kali aku bisa bersekolah lagi..” itu jawabannya pada guru-guru dan teman2nya. Memang sangat di sayangkan karena Chika tergolong siswi yang pintar dan sangat berbakat.
“Ka, beneran nich kamu gak mau ngelanjutin sekolah lagi?” tanya Titi teman sekelas sekaligus sahabatnya
“Kalo aku mampu, aku pengen banget ti, tapi ayahku kini udah gak bisa ngebiayaain lagi, hasil jualan ibuku di pakai buat pengobatan bapak, kasian banget ya gua?” Chika terlihat menenggelamkan wajahnya. 
“Yang sabar ya ka, pasti kalo gak tahun sekarang, kamu bisa sekolah tahun depan ..”
“Mudah-mudahan aja Ti..”
“Maafin aku ya, aku gak bisa bantu banyak .”
“Gak apa-apa, kamu selama ini udah banyak bantuin aku kok ..”
Pembicaraan kedua sahabat itu pun berhenti saat seorang murid menghampiri mereka.
“Kamu di panggil pak Andi ka ..” ucap seorang anak laki-laki yang juga teman sekelasnya
“Owh iya di, ntar aku kesana ..”
Setelah itu, Chika pun pergi menuju ruang Guru untuk menemui Pak Andi wali kelasnya.
“Maaf pak, bapak manggil saya?” ucap Chika setibanya diruangan itu.
“Iya, bapak cuman mau nanya.. katanya kamu gak bakalan ngelanjutin sekolah ke SMA?”
Chika pun menggangguk mengiyakan. “Aku pengen nyari kerja aja pak..”
“Waah sayang sekali ya, padahal prestasi kamu sangat bagus di sekolah..”
Chika berusaha tersenyum. Setelah itu pembicaraan mereka pun berakhir..
“Iya pak trimakasih ..” dengan perasaan yang sedikit mengambang, Chika pun meninggalkan tempat itu.
Kini perpisahan kelas pun sudah terlewati. Rasa bingung kini hinggap di hati. Sore itu  Chika hanya terduduk di depan rumahnya yang terlihat tua itu. Dia hanya termenung mengingat semua yang harus dia tanggalkan.
“Kok dari tadi gue liatin lo bengong aja? Awas loch ntar kesambet tau ..” ucap Kemal teman sekelasnya yang tiba-tiba muncul dihadapannya “Gimana? Lo jadi lanjutin sekolah gak?” lanjutnya.
Chika hanya menggeleng ..”Gue mau nyari kerja aja, tapi gue masih bingung mau kerja dimana..” chika terlihat bimbang “Oiya seingatku paman kamu punya agen Koran kan? Aku boleh gak ngelamar jadi tukang Koran?”
“Hah? Mau kerja jadi tukang Koran? “Kemal terliat terkejut “Aah mana mungkin gue tega ngebiarin lo kerja kayak gituan.”
“Pasti lo bilang gitu dech, gak apa-apa lah Mal.. gue kan cuman lulusan SMP, please bantuin aku ya?”
Karena tidak bisa menolak permintaan sahabatnya itu akhinya Kemal pun mengiyakan “Baiklah gimana lo aja..”
Chika terlihat sumringah ..” Duch..lo emang temen gue yang baeekk bangett ..”
Mereka kemudian berangkat ke tempat Pamannya Kemal itu. sesampainya disana ternyata Chika di perbolehkan untuk berjualan Koran mulai besok, meskipun dalam hatinya terasa berat, tapi dia berusaha tegar.
Hari pertama chika menjajakan Koran di lampu merah, dia terlihat bersemangat sekali..
“Koran… pak… koran..!! ” Chika menghapiri setiap mobil yang berhenti disana ..
“Korannya satu de ?” ucap seorang bapak yang terlihat membukakan jendela mobilnya.
“Baik pak..” dengan semangat dia melangkah. Sebuah Koran pun diberikan ke dalam mobil tersebut, kemudian bapak itu pun memberikan selembar uang 5 ribuan pada Chika.
“Kembaliannya buat kamu aja .”ucap bapak itu
“Makasih pak ?”
Namun sesaat semangat Chika terhenti saat seseorang di samping bapak itu berucap sesuatu kepadanya.
“Iichh kamu itu siswa di sekolahku kan? Ko jualan Koran? brarti aku sekolah disana gak jauh beda sama tukang Koran dong? ichh  papah, aku pengen pindah sekolah ah  “ucap gadis di sampingnya dengan manja.
“Masa sich? “ saut  ayahnya
Perasaan malu bercampur sedih meliputi hati Chika saat itu, dia pun segera menghidar dari tempat dia berdiri. Kini dia merasakan kalo dia dia sangatlah miskin, karena sewaktu bersekolah di SMP nya yang tergolong elite. Chika sadar kalo waktu itu sebagian biayanya dia dapatkan dari beasiswa. Sambil terduduk di pinggir halte yang tak jauh dari temapat tadi, Chika hanya bisa menangis tersedu…
“Lo nangis bukan karena ucapan anak manja tadi kan?” tanya Kemal yang tampak memperhatikan “Chika, hidup itu bukan untuk di tangisi, tapi buat dihadapi, masih banyak hal yang akan terjadi nanti, dan kita kalo ingin memenangkannya harus jadi orang yang kuat, gue banyak belajar tentang hidup dari lo, masa kayak gitu dong lo nangis sich?” tambahnya sambil duduk disamping Chika
“Gue cuman malu Mal, malu banget sama diri gue sendiri..” suaranya terdengar lirih
“Udah jangan di ambil hati, mending lo jualan Koran lagi biar lo dapet duit banyak, lo mau sekolah lagi kan?”
Chika kembali tersenyum, dia melanjutkan kembali ke jalan.

Malam itu Chika bermaksud menyimpan uangnya di celengan, namun terdengar pembicaraan serius di ruang tamu.
“Bapak mau minta maaf ya bu?” suaranya terdengar lirih ..” bapak gak bisa buat ibu dan Chika bahagia, bapak cuman ngerepotin kalian sajah..”
“Udahlah pak, jangan ngomong kayak gitu..kalo Chika denger ntar dia malah jadi tambah sedih..”
“Bapak ngerasa gagal aja bu, Chika nyampe musti berhenti dulu sekolah ..”
Ibunya terlihat termangu. Sedangkan dibalik dinding kamarnya, Chika menangis sebisanya, dia pun memegang erat bantal supaya orang tuanya gak mendengar suara tangisannya itu. sejak saat itu dia pun bertekad untuk mengumpulkan uang supaya bisa sekolah dan membiayai pengobatan ayahnya.
Tak terasa tangisannya membawa dia dalam lelap, hal itu baru disadarinya setelah pagi menyambut dan dia kini harus melanjutkan pekerjaannya kemarin..
“Kamu mau kemana ka?” tanya ibunya yang sedang siap2 pergi berjualan
“Chika udah dapat kerja bu.. nanti Chika ceritanya ya?” ucap Chika yang kemudian pergi
Kali ini Chika tidak berjualan Koran di pinggir jalan, dia sekarang mendapat tugas mengantarkan Koran di komplek perumahan yang ada di ujung jalan. Dengan semangat Chika mengantarkan Koran itu satu persatu hingga selesai namun saat akan mengantarkan Koran terakhir mata Chika seakan terhenti sesaat saat sebuah kolom dibagian depan Koran ..
“Beasiswa… “hatinya sedikit tak percaya..”Ya ampuuun…lagi ada beasiswa buat 2 orang siswa yang mampu mengirimkan cerita pendek paling unik..” dibacanya perlahan isi berita itu
Kemudian Chika pun mencatat alamat tempat mengirimkan lomba itu dan langsung melemparkan Koran itu ke halaman rumah mewah tersebut kemudian segera pergi…
Dengan semangatnya Chika kemudian mengambil hasil karya tulisnya yang ada di lemari, dia sudah sudah tak sabar ingin mendapatkan beasiswa itu dan berharap dapat bersekolah kembali.
“Yappss… ini dia, tulisan cerpenku bulan lalu, semoga mendatangkan keberhasilan “ Chika pun mengambil salah satu dari cerpen yang terlihat tertumpuk itu dan ia segera membungkusnya dengan amplop.
Akhirnya pengiriman pun sudah dilakukan, dengan harap-harap cemas dia harus menunggu satu minggu lagi untuk pengumuman. Sembari menunggu hasilnya nanti Chika mengerjakan pekerjaan mengantarkan Koran seperti biasanya.
Tak jauh beda dengan kemarin, Chika pun harus mengantarkan Koran ke rumah yang sama, dan ketika itu di depan rumah mewah yang sama dengan kemarin itu Chika berdiri. di pandangnya rumah itu jauh kedalam.
“Kapan aku punya rumah kayak gini ya? gede banget ..” bisik hati Chika
Dilemparnya Koran yang dia pegang ke teras rumah itu, segera dia berbalik untuk meninggalkan tempat tersebut namun sesuatu menghentikan langkahnya, matanya tertuju pada sebuah benda yang tergeletak di samping tempat sampah, di raihnya benda tersebut. Sontak saja hal itu membuatnya kaget, karena ternyata benda itu adalah sebuah dompet yang sangat tebal. Tebal dengan segala isinya ..
“Ya ampuun .. uangnya banyak sekali? Ada ATM, SIM dan … “ semua yang dilihatnya membuatnya bergetar. “Pasti pemiliknya ada di rumah ini ..” setelah itu Chika berniat menyerahkan dompet itu pada pemiliknya, tapi seketika niat itu diurungkan. Diambilnya sepedanya yang dari dibiarkan tergeletak. Diayuhnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.
Sepanjang perjalanan bimbang menyelimuti hati Chika.
“Aku gak boleh ngembaliin uang ini, toch dia sudah sangat kaya dengan memiliki rumah mewah itu, paling isi dompet ini hanya sedikit dari apa yang dia miliki, jadi wajar saja aku membawanya pulang ..”Chika bergumam dalam hati
Setelah dari agen untuk melapor, Chika pulang ke rumahnya. Setelah kejadian itu dia hanya diam di kamar. Dipandanginya seisi dompet itu..
“Kalo uang ini aku aku gunakan buat sekolah pasti cukup..” Chika bergumam sendiri ..” Tapii .. aku kan lagi ikutan lomba? Bagaimana kalo aku menang? Aah.. uang ini kugunakan nanti saja kalo sudah ada hasil lomba itu .. ya, pasti itu lebih baik ..” fikirnya
Seminggu pun berlalu. Meskipun hari ini adalah jadwal liburnya, tapi Chika berniat untuk pergi ke agen Koran sekedar melihat hasil pengumuman itu ..
Setibanya disana, Chika langsung masuk..
“Koran pagi ini mana bang? “ucap Chika pada salah seorang tukang Koran lainnya.
Belum sempat menjawab tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan itu “Loch ko kamu masuk ka?”
“Aku Cuma ..” Chika mengehentikan kata-katanya .” laah kamu sendiri ngapain disini?” Chika berusaha mengalihkan pembicaraan ..
“aku mau ada perlu sama pamanku, trus kamu sendiri ngapain? Bukannya sekarang kamu libur?” ucap kemal dengan tatapan sedikit aneh
Sepertinya Chika sedikit tak menghiraukan pertanyaanny, dia malah membuka-buka lembar demi lembar Koran pagi itu. matanya kemudian membaca satu demi satu pengumuman yang tertera saat itu. dan ..
“Alhamdulillah …aku dapat beasiswa ..” Chika pun melompat kegirangan “SMA Tunas Bangsa? Inikan sekolah elite “ ucapnya dengan penuh semangat.
Hari itu sangat membahagiakan baginya, Chika pun berniat pulang memberikan kabar baik pada ibu dan bapaknya. Seperti biasa Sepedanya di ayuh dengan kecepatan tinggi, dia sudah tak sabar memberikan kabar membahagiakan itu. namun setibanya di depan rumahnya. Kebingungan kini meliputi hatinya ketika melihat banyak sekali orang yang berdatangan ke rumahnya..
“Ada apa ini pak? Ko banyak sekali orang datang ke rumah saya?” tanya Chika pada salah seorang bapak warga kampung itu.
Pertanyaan Chika pun tak mendapatkan jawaban. Hal itu membuatnya bertambah bingung, dia pun segera masuk. Setiba di pintu rumahnya ibunya datang menghambur ke arah Chika sambil menangis. Ibunya pun memeluknya erat.
Kebingungan itu akhirnya terjawab saat dilihatnya seorang terbaring ditutupi kain sarung di tengah ruang tamu saat itu..
“Innalillahi wainailahi rojiuun ..” hatinya bergetar saat itu..” bapakk …” suara Chika sedikit terpekik, kemudian dia menghampiri jenazah itu. Tangisnya tertumpah saat itu.

Bapaknya kini sudah kembali ke Rahmatullah. Hati Chika terasa sangat sakit, kenyataan di depannya harus dia terima, kenyataan yang lebih pahit di bandingkan saat dia menerima kenyataan tidak melanjutkan lagi sekolah.
“Semua akan kembali kepada sang maha pencipta nak Chika, semoga kalian diberi ketabahan ..” ucap ketua RT saat hadir di pemakaman.
Kini terasa berat rasanya bagi Chika harus kehilangan orang yang belum sempat dibuat bangga olehnya. Rasa sesal itu terus-menerus menggunung di hatinya dan masih terasa hingga kini, meskipun sudah hampir dua minggu berlalu. Pekerjaan Chika hanya melamun, seperti tak bersemangat.
“Memangnya kamu mau sampai kapan kayak gini nak? Sudah beberapa hari ini kamu gak makan nanti sakit” ucap ibunya sambil duduk di samping Chika yang terdiam di teras rumah..
“Ibu kamu benar ka ..” tiba-tiba seseorang ikut nimbrung saat itu
“Nak titi? Nak Kemal? Silahkan masuk?” terlihat sahabat-sahabat chika yang datang saat itu.
“Aku belum sempet ngebanggain bapak, belum sempet ngucapin trimakasih buat dia ..”
“Tapi kita yakin bapakmu itu pasti sudah tau.. kamu itu anak yang cerdas, pintar dan penuh semangat ..pasti bapakmu bangga ..” ucap Kemal penuh semangat
“Iya ka, bener tuch yang di katakan Kemal, kamu musti melanjutkan hidup kamu, kamu masih mau ngelanjutin sekolah kan suatu saat nanti?” titi menambahkan
Tiba-tiba Chika menatap titi dalam ..” sekolah?” saat itu seperti ada yang mengingatkan tentang beasiswa yang dia dapatkan tempo lalu..
Setelah mendengar hal itu Chika langsung bangun dan mengambil sepedanya, diayuhnya sepeda itu menuju tempat sekolah tempat dia mendapat beasiswa nanti.

“Sekolahnya gede bangett ..” gumam Chika dalam hati
Saat itu terlihat banyak sekali orang disana, tanpa mundur sedikitpun Chika berniat untuk mendatangi bagian Administrasi.
“Permisi pak? Bagian administrasi sebelah mana ya?” ucap chika pada seorang bapak yang memakai seragam satpam.
“Iya ada apa?”
“Aku mau daftar ke sekolah ini pak..”
“Ha..ha.. ha.. “ bapak itu tertawa terbahak ”Punya uang berapa kamu? mimpi mau sekolah disini. Udah sana pulang aja, urusin aja tuch sepeda butut kamu itu..” sergah satpam yang terlihat sangar itu ketika melihat sepeda Chika.
“Maaf pak, saya cuman mau nanyain bagian administrasi bukan buat ngomentarin sepeda butut saya, bapak saya juga dulu seorang satpam, tapi dia gak pernah ngehina orang ..”
Satpam itu terlihat kesal mendengar ucapan Chika “Yasudah..masuk saja kedalam, nanti sebelum masuk ke area kelas ada ruang administrasi ..”
“Baik pak, makasih …” Chika pun bergegas masuk kesana.
Setelah menemukan ruang administrasi dia pun menemui petugas disana, terjadi percakapan untuk beberapa menit, dan akhirnya setelah semua beres dia segera keluar. Kali ini Chika tampak lemas.. diingatnya perkataan bagian admin tadi ..
“Maaf de, kamu sudah telat menukar voucer beasiswanya. Seharusnya itu ditukarkan 4 hari yang lalu ..” itu yang di dengarnya tadi
Kini Chika bertambah bingung, dia semakin tak tau harus berbuat apa. Dengan perasaan kecewa Chika pun kembali ke rumahnya. Hingga sore datang Chika masih terduduk dikasurnya, kini dirasakannya tak ada harapan lagi baginya untuk bersekolah lagi tahun ini.
“Mungkin lain kali aku bisa bersekolah ..” ucap Chika dengan nada lirih
Kemudian  dipandanginya semua yang ada di sekitarnya. Semua tampak mati baginya, buku-buku pelajaran yang tertata rapih, seragam yang masih tergantung, kini harus dia tunda bersama harapanya saat ini, sampai akhirnya mata Chika terpaku pada satu titik.
“Dompet ..!! “ dia baru ingat kalo dia pernah menemukan sebuah dompet
Segera dibukanya dompet itu..
“Ya tuhan .. apa harus kugunakan saja uang ini..?” Chika terlihat bimbang ..
Fikirannya terus berkelana jauh kesana..
“Tok… tok .. tok ..” suara ketukan pintu kamar terdengar ”Chika ?” ibunya yang memanggil..
Seketika fikirannya buyar, dengan cepat dia menyembunyikan dompet itu di balik bantal..
“Iya bu ..” Chika kemudian membuka pintu kamarnya
“Kamu udah makan? “
Chika menggeleng ..
Ibunya mengehela nafas pendek kemudian..
” Ini ada sebuah buku milik bapakmu, kali aja ada hal penting yang ingin dia sampaikan kemadamu, bukalah…”
Chika pun meraih buku itu terus dibacanya. Lembar demi lembar tidaklah terlalu berarti, hanya catatan biasa mengenai semua yang pernah dikerjakan bapaknya, hingga Chika pun berhenti di sebuah lembar bagian paling tengah. Kemudian disimaknya dengan baik.
“Maafkan aku ketika aku tak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian, maafkan aku hingga ujung hidupku nanti tidaklah panjang, tapi yang perlu kalian tau aku sangat menyayangi kalian ..
Yang bisa ku titipkankan bukanlah harta, bukan juga tahta, namun hanya sebuah kata ”hiduplah dengan jujur..” karena kejujuran itu yang akan membawamu pada apa yang belum kau fikirkan sebelumnya, pada apa yang tak pernah ternilai oleh harta sekali pun ..”
Membaca tulisan ayahnya tersebut, Chika tak mampu membandung lagi tangisnya.
“Chika bangga sama bapak bu ..” ucap Chika sangat erat
“Bapakmu pasti tau soal itu ..”
Setelah itu Chika pun bertekad untuk mengembalikan dompet itu, dia kembali mengayuh sepedanya menuju rumah mewah di komplek perumahan saat dia menemukan dompet itu. Langkahnya sedikit ragu saat menuju pos satpam di rumah itu.
“Permisi pak ..?”
“Iya ada apa de..?” ucap bapak itu ramah
“Saya…“tenggorokan Chika serasa tersekat”Ayoo Chika kembalikan, ini bukan hak kamu ..”bisiknya dalam hati..”Saya mau mengembalikan dompet ini pak, ini punya bapak yang punya rumah ini..”Lanjutnya
“Itu dompet majikan saya kan? Owhh.. jadi kamu yang menemukan dompet ini?”
“Iya pak, saya menemukannya sewaktu saya mengantarkan Koran kesini, tepatnya di depan sana..” sambil menunjuk ke pinggir jalan..”Silahkan bapak chek dulu barangkali ada yang hilang, dan tolong sampaikan maaf saya ya pak sama pemilik dompet itu, maaf karena saya kelamaan ngembaliin, karena awalnya saya berniat buat menggunakan uang ini, tapi saya sadar ini bukan hak saya ..” Chika terlihat tertunduk
“Baiklah, yang berhak menghukum atau tidaknya itu bukan saya, tapi bos saya pemilik dompet ini. sekarang kamu tulis saja identitas kamu..?”
“Baik pak …” Chika pun menulisnya di sebuah kertas
Setelah semuanya beres akhirnya Chika pergi dari tempat itu, rasanya satu persatu beban seperti hilang di hatinya. Dan keesokan harinya Chika tidak pergi mengantarkan Koran dia berniat membantu ibunya berjualan di warung kecilnya dekat persimpangan jalan.
“Chika ..!!” terlihat titi dengan sejumlah kantong keresek di tangannya
Chika membalasnya dengan senyum.
“Ini buat kamu sama ibumu titipan dari mamaku ..” ucap Titi sembari meyodorkan beberapa kantong keresek
Tak ada komentar apapun, Chika kali itu hanya terdiam.
“Weeii.. jangan bengong gitu, ibu kamu mana?”
Tak lama terlihat ibunya Chika keluar dari bagian dapur warung itu.
“Bu ini ada titipan dari mama ..?”
“Ya ampun mama kamu repot-repot kayak gini?”
“Gak apa-apa bu, ibu sama Chika kan udah kami anggep kayak sodara ..”Titi terlihat bersemangat
Disela-sela saat itu, terlihat sebuah mobil sedan hitam berhenti didepan warung Chika. Semua yang ada disana terdiam sejenak, dan terlihat beberapa orang keluar dari mobil itu..
“Haii semuanya ..?” Kemal ternyata, dia turun dari mobil bersama seorang bapak dan seorang supir.
“Kemal ..?” Chika terlihat bingung ..”Kamu datang sama siapa?” lanjutnya
“Ini ayahku ka, dia kesini mau nyampein sesuatu..”
“Jadi kamu yang punya di rumah itu?” tanya Chika dengan Serius dan melanjutkan pembicaraannya “Bapak ada perlu sama saya? Silahkan duduk pak” Chika menyilahkan
“Iya makasih nak.. kemarin kata satpam ada yang mengembalikan dompet bapak, sangat bangga sama kamu, dan katanya kamu udah jujur dan bapak sangat menghargai itu. Trimakasih ya? trus bapak denger dari Kemal kalo kamu ingin bersekolah lagi, benarkah?”
Chika hanya terdiam
“Saya sudah mendaftarkan kamu satu sekolah sama Kemal di SMA Tunas Bangsa sampai kamu kuliah nanti, bapak harap kamu menerimanya sebagai ucapan terimakasih..”lanjut bapak itu
“Apa? Beasiswa? Apa itu gak berlebihan pak?” Chika masih belum percaya dengan apa yang dia dengar saat itu.
“Enggak ko itu anggap aja karena selama ini kamu sudah menjadi teman yang baik dengan anak saya..”
Seketika rasa haru menyelimuti hatinya, terasa seperti mimpi kini dia akan bersekolah kembali. Tak bisa di bendungnya kebahagiaannya saat itu dia pun menghambur  memeluk sang ibu…
“Terimakasih pak ..terimakasih banyak buat semuanya..” Chika terlihat sangat bahagia
Semenjak saat itu, dia yakin akan sebuah kejujuran yang dikatakan ayahnya..

Untuk kali ini dan akan selalu begitu

ya Tuhanku, aku ikhlas dengan apa yang aku jalani
tak kan kubuka lagi apa yang dulu sempat tersimpan dalam hati
tak akan ku ungkit lagi meskipun itu hanya dalam mimpi
aku ikhlas dengan semuanya ..
beri aku kesempatan dengan apa yang aku inginkan
dengan apa yang aku harapkan
untuk dikali ini
aku benar2 ikhlas
maka yang ku pinta
berikan semua itu tanpa bayang seperti masa laluku
ya Allah ya Rabb. aku kadang tak mampu mengendalikan hatiku
aku tak mampu mengendalikan perasaanku
namun kali ini
aku setuju denganmu
dan akan selalu begitu ..

20 hari

    Aku adalah gadis biasa dari sebuah kota terpencil, panggil saja Airi. Aku hanya ingin bercerita tentang sesuatu yang sangat berharga namun terlewati. Terlewati karena mungkin hal itu tak mungkin kembali, terlewati karena waktu yang semakin melaju tanpa henti dan merasa lelah tanpa ingin menungguku meski sejenak saja.
Malam itu handphone ku berdering tanda sms masuk, kalo tidak salah ku setting nada sms streetwise di handphone monophonicku saat itu. Maklumlah hanya handphone dengan tipe lumayan jadul itulah satu-satunya barang berharga yang ku bawa dari rumah, meski seperti itu, namun handphone itu yang selalu menemaniku, sampai - sampai selalu menjadi teman tidurku di 1 tahun belakangan ini. Kuraih handphone itu yang dari tadi siang ku geletakkan di atas kasur yang tidak mempunyai dipan itu, kasur pinjaman dari pak Haji pemilik kontrakan yang ku tempati saat ini. Saat sebuah nama tertera di layar handphone ku itu, hatiku sudah bisa menebak apa isi sms itu. Ku buka perlahan dan ternyata benar.
“Teh kapan pulang?” pertanyaan yang sama beberapa hari ini yang kudapatkan. Adikku belakangan ini selalu menanyakan hal itu. Ku tatap dalam - dalam sms itu. Jari – jari tanganku menggenggam erat handphone mungil itu. Ingin rasanya di saat seperti itu tiba, aku berada di tempat mereka berada, ditempat orang – orang yang selalu mengharapkanku pulang, keluargaku.
Ku rubah posisi ku saat itu, sedikit melepas lelah kurebahkan tubuhku di kasur, kurasa kan semuanya semakin tak berdaya.
Beberapa saat, ku mainkan jari-jemariku di atas tombol handphone itu, ku ketikkan satu demi satu beberapa hurup “Insya Allah teteh pulang …” aku berhenti sejenak, sembari memikirkan jawaban yang harus ku berikan pada adikku. Hingga kemudian sms itu ku lanjutkan kembali” ….akhir bulan bi, pas ulang tahun aza ya? mau kado ultah apa?”, dan kemudian sms pun terkirim. Beberapa saat ku dapati sms balasan “Hehe..pengen di beliin bola basket teh, eh tapi sekarang mataku sedikit minus, pengen periksa, yaudah hadiahnya kaca mata aza ya? :D” . hatikku terasa senang sekaligus bimbang, sms pun ku balas kembali..”Iya, insya Allah nanti kaca mata aza..”
Fikiranku menerawang jauh ke sana, seketika terbayang jelas raut wajah adikku yang masih terlihat polos itu menghampiri khayalanku, meski umurnya sudah 16 tahun di selalu di anggap seperti anak kecil. Kekhawatiran aku, ibu dan bapakku sangatlah besar pada si bungsu ini, ya mungkin karena sikapnya yang penurut dan tak seperti yang lain, kadang membuat kami semakin memberikan batasan ini itu.
Sms pun ku dapati kembali, “Asyiiik, cepetan pulangnya okeh? ” adikku sepertinya bahagia mendapat sms ku tadi.
Handphone pun tak berdering lagi, mungkin karena waktu sudah semakin larut dan mungkin kini adikku sudah tertidur karena besok harus sekolah. Kemudian tanganku pun menekan tombol handphone, sampai jam di handphone terlihat jelas, pukul 9 malam ternyata. Aku menghela nafas sebentar, mataku sudah terasa sepat namun aku tak boleh tertidur, karena masih banyak yang harus ku kerjakan  di aktifitas malam itu. malam ketika ku harus pergi bekerja.
Suasana sepi semakin mencekam saat aku berangkat bekerja, mungkin karena kontrakanku tak jauh dari lokasi tempat pemakaman umum, atau juga mungkin karena tinggal aku sendiri di kontrakan itu, hampir semua seisi kontrakan pergi bekerja shift 2, entah kenapa hatiku berubah tak nyaman. Kembali teringat adikku disana, kucoba fokuskan pada pekerjaan yang kini harus ku bereskan. Namun di tengah kesibukkan ku, tiba-tiba handpone ku yang ku letakkan di sampingku di atas meja tempat kerjaku itu tak sengaja tersenggol sampai terbalik, dan seketika mati, hatiku tiba-tiba memanas dan merasa panik, semua kebingungan menghampiriku, ketakutan pun ikut disana bersama keringat dingin yang tiba-tiba muncul. Suasana malam saat itu tepat pukul 1 malam saat ku tanyakan jam pada rekan kerjaku. Malam yang aneh kurasakan. Kemudian aku pun mengutak-ngatik handphone ku yang mati tadi, ku buka baterainya sebentar, ku coba masukkan kembali dan “ Akhirnya..” ternyata bisa nyala kembali, ”Huft” aku menghela nafas lumayan panjang, hatiku pun sedikit lega.
Perasaan itu terbawa sampai pagi, sampai aku pergi kerumah nenekku di samping kota itu, kudapati beliau yang sedang terbaring sakit 6 bulan belakangan ini, nenekku sakit komplikasi liver, diabetes, dan beberapa penyakit lainnya yang bisa di bilang cukup mengerikan bagi kami, namun beliau hanya di rawat di rumah saja karena keluarga sudah hampir ke walahan membawanya pergi ke rumah sakit yang semakin tidak memperlihatkan kemajuan, dengan di temani sodara sepupuku, kuceritakan hal semalam padanya.
Malam pun tiba kembali, perasaan cemas yang sama, sampai-sampai aku tak bisa tidur semalaman, semakin terasa bergetar. Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan nenekku, sekaligus untuk menjaganya, saat itu aku masih belum bisa tidur. Namun tiba-tiba nenekku menjerit tak sadar. sontak hatiku menjadi takut dan cemas jadi satu, ya mungkin karena saat itu menujukan pukul 12 malam. Apa gerangan yang terjadi? Itu menjadi pertanyaan dalam benakku. Setelah nenekku tenang kembali, terlihat kelap kelip tanda ada telephone masuk dari handphone yang sengaja ku silent dari tadi, kuraih handphone itu, namun tiba-tiba “Uups..mati lagi..!!” seruku dalam hati, hatiku melemas “Barusan siapa yang menelpon ya?” tiba-tiba aku tertegun sejenak.
Hingga ku temui esok hari lagi, sekitar pukul 6 pagi, mataku pun masih terasa ngantuk karena semalaman belum tidur, namun kemudian terdengar suara..
“ Airi kesini...” suara sepupuku yang dari ruang tengah terdengar memanggilku.
Aku pun bergegas menuju ke dalam, ku hampiri dia yang sedang berdiri menelpon dengan penuh kegelisahan. Di serahkan handphone yang di pegangnya itu kepadaku. Ku dekatkan ketelingaku karena isyarat sodara sepupuku itu.
“Ada apa ma..?” tanyaku. Namun yang ku dengar hanya isakan tangis ibuku dari seberang telephone sana..
“Si Abi..” ibuku menghentikan suaranya dan kembali menangis, semua itu seketika menjadi tanda tanya besar bagiku..” Dia kecelakaan kini di rumah sakit dan butuh biaya sekarang juga..” lanjut ibuku lirih..
Seketika hatiku seperti di hampiri petir yang entah datang dari mana. “ Abi di rumah sakit? kecelakaan? dan sekarang  butuh biaya?” owhh semua seakan menjadi kebingungan tersendiri bagiku, tiba-tiba hatiku sakit mendengar hal itu, seberapa parah kecelakaan adikku itu? dan dari mana harus ku dapatkan uang dalam beberapa waktu dekat ini? Sedangkan gajihan saja belum, ini baru tengah bulan. Tiba-tiba air mataku mengalir deras, adikku berada di sana dan butuh bentuan secepatnya. Seketika mataku tertuju pada handphone mati di tanganku. Apa ku jual saja? Tapi mana mungkin ada yang mau beli handphone jadul dan dalam keadaan mati seperti ini? bisik batinku yang dari tadi terus bergejolak, kini fikiranku yang penting aku bisa pulang, kemudian…
“ Na," panggilku pada sepupuku itu. "sekarang kamu lagi ada uang gak? mamaku lagi butuh uang katanya..?” tanyaku sekenanya.
“Tapi aku juga kan belum gajian, mungkin kalau ongkos untuk pulang aku masih ada..” jawabnya dengan sedikit melemah.. ” Tapi aku ada handphone. Coba sekarang kita usahakan jual handphone ini dulu”  lanjutnya sambil menunjukan handphone yang sedang di pegangnya. ya kulihat handphonenya masih terlihat baru. namun aku juga tak tega dengan hal itu.
Namun ternyata tak seperti yang di harapkan, setelah kami berkeliling untuk menjual handphone itu di pusat penjualan handphone, tak ada hasil yang didapatkan, hampir semua toko handphone menawar dengan harga murah, mungkin karena mereka tau, kalau kami itu sedang membutuhkan uang. Dan akhirnya tanpa uang kami memutuskan untuk segera menuju kota kecil kami, berbekal ongkos dan uang seadanya saja. “Nanti di Tasik sajah di jualnya ri..” ucap sepupuku yang wajahnya terlihat tampak kusut.
Aku hanya  mengangguk tanda setuju.

Kurang dari setengah hari akhirnya kami sampai juga dikota tempat adikku berada, langsung saja menuju sebuah rumah sakit umum yang sudah di beritahukan oleh ibu sebelumnya. Dengan ragu, dan kali pertama masuk rumah sakit, hatiku pun menggeliat dalam, tak bisa ku bayangkan apa yang di alami adikku, mungkin sangat parahkah? Atau tidak? Semua pertanyaan batin datang menghampiri di tengah kegalauan.
Sudah tampak keluargaku yang lain, ibu dari bapakku menghampiriku dengan tangisan. Tapi tubuhku seakan terdiam oleh suasana, entah apa yang harus kulakukan. Satu demi satu dari keluarga bapakku menatapku iba, dan terlihat menyabarkanku dengan usapan di kepala. Tapi kakiku tetap melangkah ke dalam, memerobos keriuhan suara di ruangan itu, seakan-akan tak bisa terhenti. Hingga di sebuah ruangan unit gawat darurat saat itu, sangat terasa suasana rumah sakit karena bau obat yang terasa menyengat di hidung. Terlihat 2 suster berbaju putih dengan berbagai alat kedokteran di tangannya baru saja keluar dari ruangan itu, kuteruskan langkahku sampai seorang ibu berbadan kecil menghampiriku dan kemudian merangkulku dengan erat, yaps itu ibuku. Wajah dan badannya yang kecil tampak kusut sekali karena belum tidur sehari semalam. Ku buka gorden biru yang sebagai penghalang tempat tidur pasien yang satu dengan yang lainnya, hingga terlihat sebuah tempat tidur dengan oksigen besar di sampingnya. Selang-selang yang mengalirkan udara ke hidung dan mulut seseorang yang sedang terkapar itu, dengan denyut nadi yang tergambar di sebuah layar monitor di meja sebelah kiri. Tiba- tiba tangisku menumpah kala itu, tapi kucoba sedikit di tahan namun terasa sangat sakit sekali. Kudekati dia yang sedang terkapar, masih tak percaya, itu adikku Abi yang selama ini tak kami biarkan terluka walau sedikitpun. Luka lebam terlihat jelas di bagian wajah dan beberapa bagian di badannya, tak henti darah pun keluar dari mulut, hidung dan telinga adikku, meskipun sudah mengalami perawatan, tapi sangat menghawatirkan sampai-sampai kapas dan perban pun di penuhi dengan darah. Hal itu Semakin membuatku miris dan terluka, hatiku seketika marah namun juga penyesalan itu selalu membayangiku. Andai saja aku pulang lebih awal, mungkin kejadian itu tak akan pernah terjadi, andai aku bisa datang lebih awal, mungkin adikku kini masih dalam keadaan sehat, tapi apa? Kini dia terkapar dalam keadaan koma, itu yang membuatku semakin terpukul. Kakak macam apa aku ini? adikku kini harus merasakan sakit, kenapa tak aku saja yang merasakan semua ini? Kenapa harus adikku yang selalu jadi anak penurut bagi ibu dan bapakku, sedangkan aku, anak pembangkang dan penuh dosa ini yang masih enak-enakan merasakan kehidupan ini? kenapa?. Tak henti-hentinya hatiku bertanya-tanya dan menyalahkan.. Suara ayat Al-Qur’an dari handphone pun diperdengarkan sampai mengisi ruangan itu, sebagai pengganti kalo sesekali kami kelelahan ketika mengaji surat yasin di samping adikku. Berharap Allah memberikan keajaiban.
Namun sudah 4 hari adikku dalam keadaan koma. Tentu saja membuat kami semua jadi tidak menentu, aku sudah kasihan melihat bapak dan ibuku yang terlihat bingung  melihat anak kesayangannya dalam keadaan seperti itu, ditambah biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Namun berkat saran dari seorang tetanggaku, akhirnya kami pun mencoba untuk mengajukan jaminan kesehatan masyarakat. Namun masalah keuangan pun tak berakhir sampai disitu, tak habis fikir dalam keadaan seperti itu pun, banyak pihak-pihak yang memberikan kerumitan dalam proses pengajuan tersebut, padahal taruhan kali ini adalah nyawa, nyawa adikku tersayang..
Di tengah keadaan yang semakin membuat bingung itu, di saat aku terdiam pasrah di samping adikku, hatiku seakan menyeruak ketika melihat ada sebuah respon dari adikku, mataku tertuju ke jari-jari adikku, sontak hatiku sumringah. kakiku melangkah menuju luar ruangan, menghambur menemui ibu dan bapakku yang sedang termenung. “Abi siuman bu..”  suaraku tampak lirih saat itu. Terlihat semangat memancar dari wajah ibuku, kami semua menuju ke ruangan dengan diikuti seorang dokter yang berbadan tinggi putih. Ada tangis bahagia, namun juga terasa masih keadaan harap-harap cemas. Karena setelah beberapa kali di periksa dokter, ternyata dokter menyatakan kalau sudah terjadi retakan didada dan benturan di otak yang berakibat akan terjadi kelumpuhan. Katanya harus segera di operasi. Semangat kami hancur kambali. Apalagi setelah itu adikku harus di pindah ke ruangan steril, yaitu HCU (High Care Unit), entah apapun tentang ruangan itu, tapi sepengetahuanku ruangan itu adalah ruangan khusus orang-orang yang mengalami kecelakaan yang sangat parah. Sontak badanku terasa di bantingkan ke tembok, namun masih tidak terasa sakit di bandingkan dengan rasa sakit yang dialami adikku. ”Begitu parahkah keadaan adikku itu? ” bisik hatiku pelan.
Dalam do’aku di dalam sholatku. Aku hanya memohon kesembuhan adikku yang semakin hari semakin terlihat memburuk, meskipun nadinya semakin normal, namun tidak merubah keadaan adikku.

Sore hari saat itu, handphone yang dari tadi bergetar dari saku celanaku segera ku angkat. Segera aku menghindar dari tempat aku menjaga adikku saat itu. Terdengar suara seseorang yang cukup mengagetkanku, suara seorang laki-laki yang tenyata adalah bosku. “Airi, kamu mau kerja lagi kapan? Tanya bosku saat itu. “A..aku, Gak tau pak ..” aku diam sejenak, hanya rasa bingung dan kaget yang kini menyatu dalam benakku. “Gimana ya ri kalo kaya gitu, kerjaan numpuk, jadi siapa nanti yang akan mengerjakan?” tanyanya lagi. “Saya juga pengen sekali kerja pak, tapi adik saya masih di rumah sakit, mungkin saya akan keluar saja pak dari kerjaan, soalnya disini gak ada yang jaga lagi, dan adik saya gak bisa di tinggalkan” jawabku dengan terpaksa mengatakan hal itu. “Lah coba difikir-fikir lagi ri, nanti nyesel loch?” suara bosku yang terdengar sedikit mengambang. Aku terdiam lagi, jalur otakku terasa berbelit. Perasaan dan fikiran terasa kalut, entah langkah apa yang harus aku ambil saat itu. Dan setelah ku fikir-fikir sejenak dengan cepat kuambil keputusan. “Aku keluar saja pak, nanti surat pengunduran dirinya nyusul besok atau lusa aku ke kesana” ucapku dengan batin sedikit lemas. Setelah itu, pembicaraan kami berakhir. Ada rasa sesal, namun tak boleh ku sesali, saat itu hanya adikku yang ku harapkan semoga cepat pulih kembali.

Sudah hampir 15 hari adikku di rumah sakit, biaya pun hampir menipis, sampai-sampai bapak harus mengobankan menjual apapun harta yang kami miliki demi kesembuhan adikku  tersayang.
“ Kalo rumah harus dijual pun tak apa, yang penting si Abi selamat” itu yang di katakan bapak pada kami.
Perjuangan demi perjuangan seorang bapak dan ibu semakin terlihat disini, tanpa lelah mereka terus menyiasati bagaimana supaya keadaan adikku bisa kembali pulih. Padahal situasi keungan di keluarga kami sebelum kejadian itu sedang tidak mendukung saat itu.
Suara denyut nadi dari pendeteksi nadi terdengar keluar  ruangan HCU, ruangan itu hanya dijaga suster dan petugas lainnya, sedangkan kami selaku keluarga apsien hanya menunggu di depan ruangan, supaya sewaktu-waktu pasien membutuhkan obat, resep bisa segera di berikan. Setiap ada Petugas ruangan HCU yang membuka pintu ruangan itu, hati kami selalu dibuat tak menentu, berharap ada kabar baik tentang keadaan adikku.
 “Trek..” terdengar suara dari dalam.
 “Keluarga Abi?” terdengar salah seorang petugas memanggil kami selaku keluarga dari Abi adikku. Dengan mata lelah, bapakku menghampiri petugas tersebut. Di terimanya resep dokter. Dipandanginya sangat erat resep tersebut. Sebuah selang operasi tertera dikertas resep tersebut. Kebingungan kami tak cukup sampai di situ, setelah kami tau ternyata Apotik Rumah sakit tidak menyediakan Selang operasi tersebut, hati semakin kacau. Akhirnya aku dan bapakku mencoba membelinya di Apotik luar. Setibanya di depan Rumah sakit, Tiba-tiba hujan pun turun, mungkin tidak terlalu besar. Tanpa mengurungkan niat sedikitpun, aku dan bapakku pun menerobos di tengah riuhan hujan itu, saat itu kami tak membawa payung. Apotik demi apotik kami datangi, mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil di depan rumah sakit itu. Namun semuanya nihil, tak ada satu pun yang cocok, di tempat penjualan alat-alat kesehatan pun tak ada yang sesuai, mau ukurannya yang tak ada, bahkan ada juga yang sampai tak menyediakan sama sekali. Ku tatap wajah bapakku yang semakin terlihat kelelahan itu. Dan akhirnya kami kembali masuk kedalam rumah sakit dengan tangan hampa. Bapakku menenggalamkan ekspersi wajahnya dalam, meskipun dia coba tak memperlihatkan. kemudian setelah ditanyakan kembali pada dokter, ternyata selang itu bisa di dapatkan di beberapa apotik tertentu saja di kota Bandung. Tanpa fikir panjang, kakakku yang harus cuti mengajarpun pergi kesana dalam beberapa hari. Harap, cemas itu yang kami rasakan.
Namun akhirnya setelah 12 jam berlalu dari kepergian kakakku ke Bandung, Akhirnya ku dapati sebuah telephone, katanya selang sudah di dapatkan, namun dengan harga yang tak seperti biasanya, tapi tak apalah asalkan adikku bisa segera di sembuhkan. Dan kakakku pun kembali dari kota Bandung.
Waktu yang telah di tentukan itu tiba, adikku harus menjalani operasi penyedotan gumpalan darah dan harus segera diganti dengan darah baru. Katanya darah merah dan darah putih bercampur di dadanya akibat benturan yang sangat keras, itulah sedikit informasi yang ku dapatkan dari dokter yang menangani adikku. Detik-detik operasi pun terlewati, kini adikku dalam keadaan bernafas lewat tenggorokkan. Ya katanya sich supaya lebih membantu pernafasan biar lebih dekat dengan paru-paru. Aah entahlah, yang jelas hatiku tak hentinya menangis setiap mendengar kondisi adikku.
Tak sampai di situ permasalahnnya, di hari ke 19, waktu menunjukkan pukul 2 sore. Tiba-tiba suara petugas dari dalam ruangan itu memecahkan kebimbangan kami, aku, kakakku, bapakku, dan ibuku.
“ keluarga Abi?” tanya petugas itu. Kini kakakku yang menghampirinya.
Terlihat jelas kembali wajah kakaku terlihat gusar saat mendapatkan resep dokter kali itu. “ kenapa ya?” Tanya bapakku pada kakakku yang bernama Arya itu. “ Musti beli PEN pak buat penyanggah kepala si Abi, katanya ada  patah tulang di bagian lehernya” jawabnya lemas. Sebenarnya kali ini kami sangat tidak setuju dengan ide dokter saat itu, karena jelas-jelas saat adikku di periksa tulang lehernya oleh sodaraku yang sempat berkunjung yang sedikit banyak bisa memeriksa patah tulang, dia bilang tulang lehernya baik-baik saja. Namun apa boleh buat, semua kembali lagi demi kesembuhan adikku. Dan akhirnya PEN pun dipasang. Hatiku miris melihatnya namun saat itu rasa rinduku pada adikku mengalahkan semuanya.
Di hari ke 20, kucoba memasuki ruangan steril itu di jam besuk. Sekitar pukul 2 siang. Saat pintu kubuka, semilir dingin AC terasa di kulitku, kuraih pakaian khusus orang yang membesuk yang tergantung di depan pintu. Kemudian ku hampiri adikku yang tergeletak lemah disana, terlihat seorang pasien lain juga disana, disamping tempat tidur adikku, sorang nenek tua, yang entah sakit apa. Berbagai peralatan medis di sambungkan ke tubuh adikku. Hatiku bertambah hancur. Bunyi nadi dimonitor pun semakin terdengar keras, tampak sebuah alat pendeteksi jantung di samping kanan adikku. Ku tatap erat adikku, matanya bisa melihatku, ada sedikit senyum yang di tunjukkan padaku, namun tercampur kesal. Mungkin karena PEN yang terpasang membuatnya terasa sesak, ingin sekali ku buka pen itu, tapi aku juga tak mau mengambil resiko karena dokter tetap tdak memperbolehkannya dibuka. Kuajaki adikku ngobrol, meskipun aku tau, tak mungkin adikku membalas obrolanku itu.
 “Bi, cepat sembuh ya? Ucapku lirih, sambil mengecup keningnya. Setelah jam besuk usai, aku pun kembali ke luar ruangan. 

Angin tampak sepoy-sepoy saat itu, hanya ada aku, ibu dan bapakku yang menunggu adikku. Sedangkan kakakku sedang pergi keluar, dan di sana juga terlihat beberapa orang yang juga sedang menjaga pasien lainnya. Sekitar pukul 4 sore, saat ku lihat jam yang tertera di handphone. Ku coba rebahkan badanku yang sudah merasa lelah karena kurang tidur di sebuah tikar yang digelar di lantai tepat depan pintu ruangan HCU.
Hari itu kami semua, seperti termenung dengan keadaan sekarang, tak ada suara yang keluar dari mulut kami, hanya kadang dengusan lelah dari bapak dan ibuku. Beberapa saat saja, namun tiba-tiba suara dari dalam memcahkan suasana hening saat itu. Kali ini bukan panggilan petugas untuk menyerahkan resep. Petugas hanya memanggil kami untuk masuk ke dalam ruangan tempat adikku dirawat. Kami semua, karena saat itu kondisi adikku dalam keadaan drop, semua nadi yang tergambar di monitor tampak turun drastis, gambar penunjuk detak jantung pun hampir berubah lurus, yaps.. saat itu adikku dalam keadaan syakaratul maut. Tubuhku yang berdiri di samping kasur, dekat kaki adikku saat itu, tiba-tiba seketika lemas, seakan hancur, dan tak berdaya. Dengan tangisan cemas, badanku ambruk ke lantai, sambil ku pegangi pinggir tempat tidur adikku saat itu. Sekilas ku lihat ibuku sedang mengadzani kuping kiri adikku, bapakku juga, membacakan takbir di kuping sebelahnya. Ku lihat ibuku dan bapakku menangis dan cemas bukan kepalang. Tapi mereka tak ingin adikku pergi dalam keadaan yang sia-sia. Suster pun berusaha memompa nafas adikku dengan sebuah alat.
Namun takdir berkata lain, sekitar pukul 4.15 kurang lebih, adikku harus kembali kepangkuan sang pencipta.
” Inalillahi wainailaihi rojiuun..” semua suara yang ku dengar menyebutkan kalimat itu.
Aku yang masih dalam keadaan menangis meraung - raung, seolah nyawaku ikut keluar dari tubuhku, seperti yang dialami adikku saat itu. Kupukul pelan tembok yang ada didepanku sebisaku, semua orang disekitar mencoba menenangkanku, entah bagaimana keadaan ibuku saat itu, yang pasti terasa pukulan yang sangat keras ku terima dalam batinku.

Beberapa saat kemudian, kami semua bergegas membereskan barang bawaan, untuk segera pulang, untuk menyemayamkan jenazah adikku, yaps.. kini adikku tersayang sudah menjadi jenazah, berat ku terima kenyataan itu, tapi itulah adanya. Adikku sayang adikku malang.

Suasana malam saat itu, sangat ramai dengan orang-orang yang datang melayat, kali ini kami tidak pulang ke rumah, namun pulang ke rumah nenek, ibu dari bapakku, karena kami semua berencana untuk menguburkan janazah adikku di kampung itu, yang juga sebagai tempat kelahiran aku dan adikku dulu.
Detik-detik saat adikku akan di bawa untuk disemayamkan, dengan seizing ayahku, aku pun di perbolehkan untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal kepada adikku tersayang. Saat itu Aku terduduk di sampingnya, kupegangi wajah, dan pundak yang masih terlihat kekar dan tinggi besar itu kini terbungkus oleh kain kafan, namun sekekar bagaimana pun, hanya Allah yang memiliki semuannya dan akan kembali kepadanya.
“Selamat tinggal adikku sayang, selamat jalan, kelak jika Allah menghendaki, kita semua akan di kumpulkan kembali di Syurganya. Kulepaskan sedikit demi sedikit peganganku dari tubuh adikku. Di bantu oleh ayahku, aku pun berdiri menjauh dari jenazah, meskipun rasanya berat, dan tak ingin dia pergi.
Kemudian para lelaki yang ada di sana menutupnya dengan kain sarung, dan memasukkannya ke keranda. Mengangkat tubuh besarnya itu.
Sedikit demi sedikit adikku menjauh dari dari pandanganku, terasa sepi di hatiku, kurasakan saat itu.
                                                                                              
          

tentang itu

kini aku terbiasa dengan lantunan lagu itu
terdengar sangat indah meski semua hanya kosong adanya
seperti memegang awan yang tak mampu diraih
seperti berlari menuju bulan semuanya terasa hanya sebuah mimpi
entahlah, kalo orang tau kini hatiku tak bercerita lagi
aku ingin kembali ke waktu sebelum semuanya seperti ini
duluuu.. ke waktu yang sangaat dulu ...
ke waktu dimana aku mulai belajar mengenal sesuatu
mengenal satu demi satu tentang waktu
tentang hidup..
tentang segalanya...
mungkin semuanya tak kan bisa kembali
hingga semuanya harus ku biarkan mengikhlas dan memudar seperti ini
ya, tak ada yang tau
dan tak ada yang bisa mengerti aku
tentang diriku, yang jika aku tertawa
harus ku tekan hati ini
ketika ingat semua tentang hal yang tlah lalu
semua itu.. dan selalu tentang semua itu
tapi apa diriku
diriku hanya mampu diam dalam sepiku
dalam tawa yang tak ada satu orang pun
yang mampu membaca semua isi hatiku ..
dan aku hanya mampu diam..
dan tertawa sepeti biasanya
hanya untuk melihat semuanya bahagia

Sabtu, 28 April 2012

Sedikit saja

hati terasa bimbang ..
apakah ini cinta?
entahlah ..mungkin lebih tepatnya sebuah ketidakjelasan
hmm..
baiklah.. beri aku waktu sejenak untuk sedikit berfikir tentang itu
sedikit saja... ku tekankan untuk hal ini
sedikit saja, waktu untuk lebih mengenali semua rasa yg ada
dan beri aku sedikit saja apapun itu
kalo semuanya bukan sesuatu yang terlihat semu
aku juga cuman ingin sedikit saja
mencitrakan kembali semuanya
agar itu tak merubah diriku
agar itu bisa membuat diriku selalu apa adanya
dan ketika hal sedikit itu telah ada
maka tak akan ku sembunyikan semuanya
semua yang sedikit saja
namun lebih berarti dari segalanya..

Untuk sebuah kekuatan

Detik demi detik terus berjalan, kadang menambah sebuah beban yang kian menumpuk di bahu
entah apa itu, yang jelas masih teringat di setiap sudut memoriku, semuanya masih kujalani biasa2 saja ..
entah itu baik atau aku malah menyimpan semua kepercayaan Tuhanku untukku lebih melakukan sesuatu.
aku disini dalam lingkupan cahaya lampu yang akan dipadamkan di esok pagi, tapi bukan tentang hal itu yang akan ku ceritakan saat ini. tapi ini tertitik pada sebuah perjalanan. ya sebuah perjalanan yang harus kemana ku melangkah. melangkah untuk menuju cahaya Ridho nya, Allah yang maha Kuasa.... tapi sepertinya ucapan itu lebih ringan dari pada saat kita menjalaninya.. Ya Allah .. dosakah hamba jika hingga detik ini masih berjalan biasa2 saja? batinku ingin sekali merangkup semuanya. semua yang ku bisa lakukan untuk buat kau tersenyum wahai Tuhanku..
tapi diri  ini yang selalu merasa kalah. rasanya tiap sendi ini selalu bertambah kaku melawan kebenaran. tapi engkau.. selalu tersenyum padaku untuk sebuah kekuatan...
:D

Jumat, 27 April 2012

Kadang tak bisa beriring bersama

Sesuatu yang mampu terlukiskan oleh hati
namun tak mampu berucap
mungkin ini sebuah lelucon
dari cerita seseorang yang tak masuk diakal
semuanya tampak sendu
namun semuanya juga tampak ceria
layaknya pelangi yang penuh warna
layaknya sebuah drama
dimana dalam cerita itu
telah dirangkai oleh seorang penulis cerita
kali ini benar-benar tak masuk akal
nampaknya logika dan hati tak bisa lagi beririrng bersama
mungkin karna semua tak tentu adanya
ya seorang manusia kebanyakan seperti itu
logika........
hatiii...........
semuanya masih dengan hal itu
hal kadang ada pada jalan yang berbeda
kecuali dengan sebuah kata "Keikhlasan"
yups "Iklas"
tapi apa dapat itu terjadi?
sedangkan keikhlasan itu tak murah harganya
tak bisa di cari di toko, di pasar atau bahkan di tukang loak sekalipun
jelas tidakk ..
jelas itu perlu pengupayaan
perlu sebuah pemikiran
namun sedikit yang masih seperti itu
termasuk seorang ini
seorang yang masih saja terhanyut dalam arusnya perasaan hati
yang kian kini semakin tak tau arti......